Membangun pondok pesantren memang memerlukan perjuangan lahir dan batin. Siang malam harus siap godaan. Orang bilang, semakin dekat kepada agama semakin kuat pula cobaannya. Maka, tidak heran, jika kemudian banyak orang yang gagal mendirikan sebuah pondok pesantren, meskipun memiliki uang yang banyak.
Sebuah pondok pesantren merupakan kerajaan kecil pada zaman sekarang. Kalau dulu bisa menjadi kerajaan besar, karena menjadi satu-satunya lembaga pendidikan sebelum ada sekolah.
KHA Zahruddin Syambasi terhitung tiga kali mendirikan pesantren di Lubuklinggau. Pertama, Ponpes Ittihadul Ulum di Jalan Malabar. Kedua, Ponpes Modern Ar Risalah di Jalan Lapter Silampari. Ketiga, Ponpes Al Furqon Lubuklinggau di Jalan Sejahtera, Kelurahan Tabajemekeh, Kecamatan Lubuklinggau Timur I, Kota Lubuklinggau.
Sebenarnya, gagasan mendirikan pondok pesantren sudah jauh sebelum semarak seperti saat ini. Di Kabupaten Musirawas kala itu memang belum ada satupun pondok pesantren yang berdiri. Masyarakat belajar agama masih di langgar-langgar, masjid-masjid, atau madrasah-madrasah negeri dan swasta. Pada masa itu, lembaga pendidikan agama masih kalah prestisius bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Apalagi masyarakat Kabupaten Musirawas masih asing dengan model pendidikan pondok pesantren.
Kabupaten Musirawas kala itu masih menjadi sebuah residen yang besar sebelum dimekarkan menjadi tiga pemerintahan daerah.
KHA Zahruddin Syambasi memang memiliki gairah dan cita-cita yang besar untuk kemajuan pondok pesantren sesuai pengalaman dan latar belakang pendidikannya. Ia merasa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang harus dipertahankan. Meskipun harus mengalami proses jatuh bangun.
Dikisahkan, pada suatu hari, Bupati Musirawas berkunjung ke Ponpes Al Furqon menemui KHA Zahruddin Syambasi sekadar beranjang sana. Dan, seperti biasa, disambut dengan bersahaja. Apa adanya tanpa persiapan istimewa.
Sejak awal berdiri, Ponpes Al Furqon lebih banyak berswadaya meskipun tidak memungkiri ada juga bantuan dari pemerintah. Apalagi zaman sekarang, pesantren sudah mendapat prioritas dan perhatian besar. Mulai dari membeli tanah sendiri dan menghadapi kenakalan lingkungan yang memang sering rawan.
Sang Bupati yang sering bertamu dengan tiba-tiba itu karena sudah dianggap keluarga sendiri, bertanya, “Buya, kalau boleh tahu, modal untuk menghidupkan pondok pesantren itu apa?”
KHA Zahruddin Syambasi yang sudah memasuki masa pensiun itu menjawab dengan kalem. “Apa, ya? Selain niatan baik, tidak punya apa-apa. Paling, kalau saya Patpel saja.”
“Apa Patpel itu, Buya?”
Dengan tersenyum, KHA Zahruddin Syambasi menjawab, “Kalau dapat rezeki langsung tempel.”
“Ooo, saya kira apa?” katanya mafhum sembari tertawa.
Cirebon, 10 Mei 2022.