Pertikaian di Tanah Palestina (Kanaan) pada akhirnya melibatkan suku-bangsa Arab. Hal ini mengingat ketika Nabi Sulaiman As menikahi Ratu Sheba (Balqis) yang berasal dari Yaman. Rekonsiliasi yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman As ini mengalami degradasi historis karena dianggap Ratu Sheba telah membawa pemahaman dewa-dewa, bukan Tauhid sebagaimana anggapan kalangan Abrahamic (Ibrahim). Meskipun pemahaman tentang dewa-dewa ini perlu penjabaran luas, tidak dalam artian politeistik yang berhenti pada kebendaan patung-patung sebagai berhala.
Ada dua pendapat yang merujuk pada eksistensi kearaban, baik dari segi genetik maupun budaya. Pendapat pertama merujuk kepada Sem (Shem), putera ketiga Nabi Nuh As. Budaya ini melahirkan beragam bahasa dan suku-bangsa. Rumpun Semit ini meliputi bentuk-bentuk bahasa dan budaya diantaranya adalah Ahlamu, Akkadia (Asyur/Assyria/Babilonia), Amharik, Amori, Arab, Aram/Suryani/Suriah, Kanaan/Fenisia/Kartago, Kasdim, Ebla, Edom, Ge’ez, Ibrani, Malta, Mandaik, Moab, Sutean, Tigre dan Tigrinya, serta Ugarit.
Sementara pendapat kedua merujuk kepada Nabi Ismail As, putera pertama Nabi Ibrahim As, yang menurunkan suku-bangsa Arab sekarang untuk wilayah Hijaz (Mekah dan Madinah). Dengan demikian, berbicara kearaban tentu memiliki cakupan bahasa dan budaya yang luas.
Geopolitik Arab Kuno
Kata “Arab” pertama kali ditemukan dari peninggalan suku-bangsa Assiria. Sebutan itu berlaku bagi suku-bangsa yang hidup di gurun dan nomaden.
Suku-bangsa Arab diperkirakan pertama turut mendiami lembah subur Mesopotamia dan Syria. Di Utara, mereka mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Nabatea (Al Nabthiyah). Orang Yunani menyebut mereka Arab Petrea atau Petra menurut orang Romawi. Sementara di sebelah Selatan, mereka hidup berpindah-pindah tempat.
Lokasi Arab Nabatea terletak di bagian Utara Arab Saudi dan bagian Selatan Asia Barat sejak abad keempat sebelum Masehi hingga 106 sesudah Masehi.
Kerajaan Nabatea berpusat di Kota Petra, Yordania. Di samping, Mada’in Saleh di Arab Saudi. Gaya arsitektur yang digunakan oleh suku-bangsa Nabatea dipengaruhi oleh suku-bangsa Mesopotamia dan Yunani. Mereka mengukir bagian depan kuil dan makam pada dinding batu.
Suku-bangsa Nabatea memiliki cara tersendiri di dalam menaklukkan musuh. Mereka akan menggiring musuh ke tengah padang pasir. Daya tahan mereka dalam menghemat air dapat membuat putus asa musuh yang bisa merana di kerautan.
Kerajaan Arab Nabatea berdiri mandiri dari marabahaya hingga ditaklukkan oleh Kekaisaran Roma pada masa Kaisar Marcus Ulpius Nerva Trajanus (53-117 Masehi).
Watak Budaya Suku-bangsa Arab
Secara garis besar, parasejarawan membagi suku-bangsa Arab ke dalam tiga bagian. Pertama, Arab Ba’idah, suku-bangsa Arab Kuno yang sudah punah dan sedikit sekali data yang dapat dilacak seperti ʿĀd, Tsamud, Thasm, Judais, ‘Imlaq dan lain-lain.
Kedua, Arab ‘Aribah, suku-bangsa Arab yang berasal dari anak keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan (Al Qahthaniyah). Ketiga, Arab Musta’ribah, suku-bangsa Arab yang berasal dari anak keturunan Nabi Ismail As (‘Adnaniyah).
Dalam situasi nasionalis heterogen, agak sulit mencirikan karakter suatu suku-bangsa. Karena, nasionalisme berpandangan ketentuan suatu negara berdasarkan pada kewarganegaraan (netizens).
Namun demikian, secara genetik, karakter dominan suatu suku-bangsa dapat dilihat dari struktur pemerintahan suatu negara. Setidaknya, dalam kurun waktu tertentu.
Sistem kerajaan dan dinasti merupakan ciri khas suku-bangsa masa lalu pada umumnya. Manakala kedekatan dengan hukum rimba menjadi sangat dekat. Artinya, yang kuat yang berkuasa. Maka, sejarawan sering mengaitkan antara hewan yang ada di suatu tempat berpengaruh pada karakter suatu suku-bangsa. Seperti burung garuda pada suku-bangsa Seljuk, beruang merah bagi suku-bangsa Rusia, dan seterusnya. Mereka memberikan gambaran filosofis hidup mereka laksana hewan dan binatang yang hidup di sekitar mereka.
Kehidupan suku-bangsa Tiongkok sangat erat dengan tradisi bela diri Kung Fu. Manakala Kung Fu mengambil jurus-jurus dari jenis-jenis binatang.
Demikian, suku-bangsa Arab memiliki karakter yang tumbuh dari alam bebas gurun pasir. Mereka kuat dan berpikiran terbuka karena menghadapi situasi gurun yang sulit diprediksi. Badai gurun bisa datang tiba-tiba dan memporakporandakan sarana dan prasarana hidup mereka. Di kehidupan sunyi gurun pasir, justeru suku-bangsa Arab memiliki perasaan yang halus. Di samping, karakter buas yang melekat. Dalam kisah Umar bin Al Khattab memeluk Islam telah digambarkan: seorang yang berkarakter buas, tak segan menghunus pedang, tapi luluh ketika mendengar lantunan Al Quran.
Tradisi susastra menjadi sangat melekat sama seperti suku-bangsa China atau bahkan Yahudi. Dari tradisi susastra ini, suku-bangsa Arab menjadi sebenarnya tidak berdiri sendiri sebagaimana pemahaman dan tafsir-tafsir belakangan yang sering mengesampingkan faktor-faktor sejarah.
Kritik dari kalangan suku-bangsa Yahudi, pemeluk tradisi Nasrani, atau bahkan jauh ke belakang lagi seperti tradisi Persia, sering diabaikan. Padahal, karakter dari susastra sering menampilkan hal-hal simbolik dan memerlukan penafsiran yang panjang lebar. Maka, tidak heran, jika kemudian bahasa Arab memiliki makna yang kaya. Tidak sesimpel bahasa-bahasa suku-bangsa Eropa. Mungkin, hanya bahasa Jawa dan bahasa China yang mampu menandingi kekayaan makna bahasa Arab.