Kenapa seseorang atau suatu bangsa dituntut untuk menghasilkan karya? Tentu, pertanyaan ini tidak begitu penting.
Karya adalah esensi atau intisari seseorang. Orang yang tidak menghasilkan karya dalam hidupnya, maka tidak akan tampak ekistensinya. Karya adalah manifestasi (wujud) dari esensi, yang dipikirkan dan yang dirasakan (estetis). Karya bis dikatakan sebagai esensi yang dimaterikan, dibentuk, atau dibendakan. Misal, seseorang sedang memikirkan sebuah impian tentang rumah. Ia membayangkan model rumah ala Eropa atau rumah pohon misalnya. Ia ingin mewujudkan atau memanifestasikan cita-cita dan keinginannya menjadi nyata. Tidak sekadar menjadi angan dalam bayangan.
Di dalam mewujudkan angan, bayangan, cita-cita, gagasan, atau ide tersebut, pertama, seseorang akan melihat prosesnya. Tingkat kesulitan yang akan dicapai. Waktu dan biayanya. Jarak tempuh pengerjaan, dan lain sebagainya secara mendetil. Kedua, keterlibatan, baik pribadi maupun kelompok. Pelukis Affandi memerlukan banyak hal untuk mewujudkan lukisannya. Dia akan mencari suasana dan obyek yang dapat menjadi perhatiannya secara esensi. Yang berkaitan dengan minat kejiwaannya. Kemudian mencari media. Media dimaksud adalah kanvas dan ukurannya untuk menampung ide dan gagasannya. Selanjutnya, perangkat kerja seperti kuas, tube dan cat, pembantu yang sigap, serta sarana-sarana lain yang dapat mempermudah jalannya proses perwujudan idenya. Semua hal berbentuk intisasri yang terpendam di dalam jiwa dan perasaannya akan lahir begitu saja ke dalam media kanvas yang sudah disediakan. Apa yang dia pikirkan, itu pula yang ditampakkan ke dalam kanvas. Apa yang menjadi intisari pikiran dan perasaannya, maka itu pula yang tampak. Namun, jangan salah, jika yang telah tampak itu akan mewujud ke dalam bentuk dan rupa yang berbeda. Misal, di dalam kanvas tertoreh gambar seorang gadis molek dengan tidak mengenakan sehelai benangpun. Asumsi tidak serta berkonotasi, sang pelukis sedang menikmati seonggok tubuh telanjang. Ada pula sesuatu di baliknya. Meskipun konotasi itu tidak sepenuhnya salah. Artinya, manifestasi esensi atau intisari itu dapat pula berwarna-warna rupa dan bentuknya.
Lalu, bagaimanakah dengan sejarah sebagai eksistensi? Eksistensi itu tidak dalam berupa bentuk karya. Eksistensi adalah sumber dan itu adalah si pembuat karya. Segala hal yang tertulis bagi penulis, segala rupa lukisan bagi pelukis, segala bentuk rumah sebagaimana contoh di awal bagi yang menginginkan sebuah rumah, dan seterusnya adalah sebuah karya. Sebuah hasil. Itulah esensi yang pengertiannya bisa bermacam-macam. Tinggal dari sudut mana melihatnya.