Yang jelas tidak galak. Demikian persepsi yang muncul dalam setiap benak santri Pesantren Tebuireng kala itu. Kemanapun ia mengajar di pesantren-pesantren sekitar Tebuireng, ia mengambil spesialisasi “Ilmu Tajwid”.
Materi pelajaran ilmu tajwid mungkin tidak terlalu “previllage” bagi kalangan ustadz-ustadz di pondok pesantren. Karena, ilmu ini terbilang sangat elementer. Setiap santri yang ingin memperbaiki cara baca Al Qurannya tentu terlebih dahulu harus mengenal ilmu ini. Lalu, apa istimewanya ilmu tajwid ini di tangan KH Qomari Soleh?
KHM Qomari Soleh (1961-1999) adalah kiai legendaris di Pesantren Tebuireng, bahkan di Kabupaten Jombang pada umumnya. Berkat kealimannya, ia sudah menjadi kiai top di usia yang relatif sangat muda. Memang, perbawanya tampak lebih tua dari usia sebenarnya karena tubuhnya yang subur. Orang mengira sudah di atas 40an tahun, padahal ia wafat di usia 38 tahun.
KHM Qomari bin Soleh Abdulloh sejak kecil dididik di pesantren-pesantren salaf. Ia pernah berguru kepada Mbah Hamid (KH Abdul Hamid) Pasuruan yang terkenal. Amalan-amalannya banyak berasal dari Mbah Hamid. Baru kemudian, setelah ia menyelesaikan studi kitab-kitab klasiknya, ia melabuhkan diri di Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng (MQ Tebuireng) untuk menghafal Al Quran kepada Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar, cucu menantu Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Di pangkuan Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar, KHM Qomari Soleh menyelesaikan studi Al Qurannya, mulai dari hafal 30 juz mutqin hingga 30 juz Qiraah Sab’ah. Dalam tradisi Qiraah Sab’ah di MQ Tebuireng, seorang santri memerlukan beberapa syarat diantaranya hafal 30 juz mutqin dan mampu menyetorkan hafalan dan tulisan 30 juz Qiraah.
Keistimewaan KHM Qomari Soleh di bidang ilmu tajwid adalah mampu menggunakan metode yang dikenal dengan Jazari. Metode yang bersumber dari sebuah kitab ringkasan bernama Matan Al Jazariyah (متن الجزرية) yang ditulis oleh Syekh Syamsuddin Abu Al Khair Muhammad bin Muhamad bin Muhammad bin Ali bin Yusuf Al Jazari. Seorang ulama berasal dari Damaskus dan bermazhab Al Syafi’i.
Metode tersebut sebenarnya terbilang cukup tinggi untuk santri-santri pemula. Oleh karena itu, sebelum mempelajari kitab tersebut terlebih dahulu seorang santri harus mempelajari kitab Hidayat Al Mustafid fi Ahkam Al Tajwid ( هداية المستفيد فى احكام التجويد ) tulisan Sayid Syekh Muhammad Al Mahmud.
Kitab Matan Al Jazariyah dikatakan terbilang cukup tinggi karena sudah memuat perbedaan-perbedaan cara baca Qiraah. Artinya, seorang guru yang mengajar kitab ini terlebih dahulu harus memahami ilmu-ilmu qiraat Al Quran. Ini pokok pertama
Pada pokok kedua, KHM Qomari Soleh dengan kealimannya mampu menyajikan kitab yang sulit itu secara gamblang. Nazhom-nazhom (syair-syair) yang terdapat di dalam kitab terlebih dahulu dilantunkannya dengan merdu. Kemampuannya dalam mengasah vokal ketika sering diundang ceramah di berbagai tempat seakan sedang menyaksikan seorang dalang yang piawai memainkan wayang. Ia sering keluar konteks dengan menyelipkan cerita-cerita di sela-sela penjelasan ilmu tajwid. Sehingga tidak membuat bosan parasantri yang mengikuti pelajarannya.
Di samping sebagai penceramah kondang, KHM Qomari Soleh adalah salah santri yang mendapat kesempatan untuk mengisi khutbah Jum’at di masjid Pesantren Tebuireng.
Pada pokok yang ketiga, ia mengajar dengan sistematis. Setiap habis matapelajaran yang telah disampaikan olehnya, setiap santri harus menulis kembali pelajarannya dalam bentuk diktat. Dan, disetorkan kepadanya. Dengan demikian, seorang santri tidak saja mendapat ilmu dari materi pelajaran, melainkan juga mampu menuangkan kembali ilmu-ilmu yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan.
Cirebon, 16 Mei 2022.