Di sela-sela mengisi acara PBAK untuk Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta, tempo hari, saya berkisah tentang pengalaman saya pertama kali kuliah. Niatnya untuk memotivasi para sahabat mahasiswa; kalau ada niat baik, insya Allah ada jalan untuk mewujudkannya. Karena niat adalah bagian dari hukum vibrasi dalam hukum semesta.
Dulu, sejak awal kuliah, demikian saya mulai berkisah, ayah saya tidak punya bekal finansial yang cukup untuk mengantarkan anak-anaknya bisa kuliah. Uniknya, ketika masih duduk di bangku madrasah saya sudah punya niat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Niat ini saya bangun dengan usaha lahir-batin.
Singkat cerita, usai lulus dari madrasah Aliyah di Salafiyah Kajen, tahun 1992, saya ke Yogya. Niatnya cuma satu: mendaftar kuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Begitu pedenya, bersama dua kawan yang lulus juga dari madrasah yang sama, kita berangkat ke Yogya. Padahal, kita belum pernah ke Yogya, apalagi tahu tempat kampus IAIN. Blas ora ngerti modal tekad saja. Bayangkan, waktu itu belum ada alat komunikasi secanggih sekarang, ke Yogya gak tahu tempat yang dituju. Gak ada kawan atau saudara pula.
Ketika bus yang melaju dari arah Solo yang kami tumpangi masuk kota Yogya, ada salah seorang penumpang bertanya: “Mau ke mana Dik?”
Saya jawab lugas, “IAIN Sunan Kalijaga. Mendaftar kuliah!”
“Sudah ada kawan yang dituju untuk tinggal sementara?”
“Belum.”
Dengan baik hati, kang Mas ini memberi tumpangan kamar untuk merebahkan tubuh, semalam. Paginya saya ke kampus, jalan kaki, untuk mendaftar di jurusan yang telah saya pilih: Tafsir Hadis.
Singkat cerita, sejak diterima jadi mahasiswa baru, saya hidup mandiri. Setiap hari, selain berpikir tentang kuliah, hal utama yang saya pikirkan adalah besok makan apa. Oleh Kakak (almarhum) saya, saya hanya diberi dua bekal: bekal material, yaitu mesin ketik dan kamera tua serta yang non material sebaris ayat Al-Quran.
Dengan bekal ini, sejarah saya di Yogya saya mulai. Setiap hari, dengan mesin ketik tua ini, saya menulis, apa saja: resensi buku, artikel, reportase, dan kadang memotret momen human interest dengan kamera tua.
Selagi bunyi ketukan tombol mesin masih terdengar dan tulisan-tulisan dipublikasikan oleh media massa, esok hari ada bahagia. Bisa menikmati nasi gudek dengan dua buah bakwan dan tempe bacem.
Pede itu penting dan perlu, kata saya melanjutkan kisah kepada para mahasiswa. Santui saja, dianggap rendah atau direndahkan orang lain. Jangan balas dengan sikap yang sama. Apa lagi hanya gara-gara soal keturunan dan material. Kualitas dalam diri, yang menjadikan kita mulia. Di situlah akan terjadi vibrasi hukum semesta. Bukan duit apalagi nasab. Meski nasib, kadang ditentukan pula oleh duit dan nasab.
Pengalaman di dunia tulis menulis ini yang saya kira kemudian memudahkan saya menulis skripsi ketika itu. Meski salah satu dosen saya berkelakar: gaya tulisanmu tidak ilmiah, karena kental dengan gaya menulis reportase di media massa.
Padahal, gaya reportase itu kan bagus to. Mudah dicerna. Bukankah tugas akademisi itu, salah satunya, memiliki gaya penulisan yang mudah dicerna dan memapakarkan hal-hal yang rumit dengan narasi yang mudah dipahami?
Pengalaman saya ini pula yang kemudian pad era 1990 an memengaruhi saya ketika melihat dan meneliti karya tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Bila ketika itu kebanyakan akademisi mengkaji Tafsir Al-Quran dari dua sisi, yaitu metodologi penafsiran dan hasil-hasil atau produk penafsiran, saya melihat ada banyak sudut lain yang luput dari kajian mereka. Misalnya, bagaimana gaya penulisan tafsir, teknik penulisan, penggunaan sumber, dan wacana pembentuk tafsir.
Unsur-unsur inilah yang kemudian saya pakai dalam mengkaji tafsir Al-Quran di Indonesia era 1990an untuk kepentingan lulus S2. Di luar dari apa yang saya bayangkan, hasil kajian ini diterbitkan jadi buku: “Khazanah Tafsir Al-Qur’an Indonesia”. Dan seiring berjalannya waktu, buku ini banyak dikutip orang dalam kajian-kajian mereka tentang tafsir Al-Qur’an di Indonesia.
Setelah dalam waktu yang panjang dan banyak mahasiswa dan kolega meminta penerbitan ulang buku tersebut, di pertengahan tahun ini, harapan mereka itu saya tunaikan. Di tengah ancaman pelaku pembajakan buku yang telah mendera pada edisi kedua, buku ini hadir dengan sejumlah revisi dan tambahan satu bab khusus sebagai suplemen.
Terima kasih kepada kolega dan mahasiswa yang telah memesan buku ini. Wa bilkhusus, mahasiswa di Ponorogo, Pamekasan, Lamongan dan Padang yang tempo hari memesan secara berjamaah. Repotnya lagi, saat draf buku belum dilayout dan belum diedit, harga buku belum ditentukan, mereka sudah kirim duit.
Sahabat-sahabat lain yang mau melakukan pemesanan silakan menghubungi penerbit Salwa pada tautan di bawah ini:
Para mahasiswa yang mendengarkan kisah ini, ketika itu, hanya mesam-mesem dan tak berkata-kata. Sambil kelakar, saya kembali berujar memecahkan keheningan: “moco buku ora tahu, demo ora mutu, mung tura turu, kapan majune. Yen ditakoni piye kabare skripsine mung guya-guyu”. Lalu, kami pun tertawa ngakak bersama-sama.
Dan untuk sejenak saat itu, saya merasa masih jadi mahasiswa. Ha ha ha.