Wacana Tafsir Al-Quran senantiasa didekatkan pada karya-karya ulama Timur Tengah sejak awal ketika Rasulullah Saw diutus. Sebagai penjelas (bayan), Tafsir Al-Quran mutlak diperlukan, karena ayat-ayat Al-Quran memuat kata-kata indah penuh simbolik.
Bagi suku-bangsa Arab, kedekatan bahasa, sejarah, dan ruang lingkup wilayah geopolitik, wacana Tafsir Al-Quran tidak akan mendapat kendala. Al-Quran dapat dijelaskan “bi riwayah” maupun “bi dirayah”, pendekatan kronologis. Demikian pula, arus transformatif Tafsir Al-Quran yang menyebar luas di seluruh dunia karena kebutuhan umat secara parsial untuk memahami pesan-pesan Kalam Tuhan masih memuat metode ini, meskipun pada praktiknya membutuhkan materi-materi lain berupa bahasa “A’jami”. Bahasa asing selain bahasa Arab.
Pada tatar kontekstualisasi ini, ulama-ulama Nusantara (Indonesia) bergiat menulis dan mengumpulkan kembali materi-materi makna yang secara konstruktif mulai ditata dan dibangun oleh Kang Islah Gusmian agar setara berbicara dengan bahasa Induknya, Arab. Tafsir Al-Quran Indonesia bukan bagian dari subordinasi wacana-wacana Tafsir Al-Quran “mainstream”. Selain memiliki akar bahasa dan sejarah berbeda, wacana Tafsir Indonesia memiliki tantangan dari aras hegemoni yang masih terus berlangsung di tengah arus globalisasi dan kapitalisasi agama di ranah kehidupan praktis.
Bagaimanapun subordinasi bahasa masih menggejala secara akut bagi umat Islam di dunia. Munculnya wacana Islam identik (Arab) memaksa Tafsir Al-Quran Indonesia tidak memiliki peran yang signifikan di dalam menampung beragam makna sebagai “rahmatan lil ‘alamin”. “Rahmatan lil ‘alamin” hanya dipandang dari segi mayoritas dan minoritas populasi, bukan dalam sebuah khazanah kekayaan makna dan intelektualitas.
Maka, kehadiran buku Khazanah Tafsir Al-Qur’an Indonesia karya Kang Islah Gusmian ini merupakan rintisan untuk berdialog secara bahasa “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Sehingga peran Al-Quran sebagai “hudallinnas”, “hudan lil muttaqin”, dan lain-lain, benar-benar mendapat posisi tawar di setiap tempat. Manusia Indonesia, baik yang secara genetik maupun tidak, masih mampu mengimani dan menerima Al-Quran sebagai korpus yang membawa pesan-pesan Tuhan. Bahasa bukan lagi kendala sebagai alat dan rumah pengetahuan (Logos) untuk memahami pesan-pesan suci itu.
Di tengah hasil-hasil riset ilmiah yang hanya tertumpuk di rak-rak perpustakaan, maka kehadiran buku ini di tengah-tengah masyarakat merupakan jawaban: ilmu memiliki partisipasi dan peran nyata di masyarakat.