Siang tadi, Kiai Musta’in Syafi’ie ngendikan, “Qiraah Muwahhadah ini adalah qiraah yang kita pilih sebagaimana diajarkan Rama Kiai Yusuf Masyhar. Qiraah ini tidak cukup dideskripsikan dalam tulisan, tetapi harus diaudiokan (di-shout-kan) juga. Untuk itu kita patut bersyukur di sini ada Kiai Fathoni Dimyati dan Kiai Abdulloh Afif yang dikaruniai Allah “bilisanin ‘arobiyyin mubin” sehingga kita masih bisa mendengar qiraah Rama Kiai dari lisan-lisan beliau.”
Secara terpisah, Kiai Mabrur Syaibani pernah bercerita tentang asal mula dinamakan Qiraah Muwahhadah. Adalah K.H. Ahmad Musta’in Syafi’ie yang mengistilahkannya untuk pertama kali. Sesuai dengan namanya, Qiraah Muwahhadah yang artinya bacaan persatuan (bacaan baku), pertama kali dimunculkan sekitar tahun 80-an akhir. Saat itu, banyak santri-santri MQ Tebuireng yang menggandrungi dan menirukan bacaan-bacaan murattal ala Syaikh Matrud, Suraim, Minshawi, dan lain-lain. Dan, hal itu-menurut dugaan para santri- salah satu yang menimbulkan keresahan di hati Rama Kiai Yusuf Masyhar sampai beliau gerah. “Kadang-kadang sak mbindeng-mbindenge, dengung-dengunge, nggoyang-nggoyange, lagu-lagune, ditirukno kabeh,” kata Kiai Mabrur.
Singkat cerita, Unit Tahfidz yang saat itu diketuai (alm) Kiai Imam Shofwan, bersama dengan Kiai Musta’in Syafi’ie, Kiai Mabrur Syaibani, (alm) Kiai Rozikin (Cak Wiji), dan (alm) Kiai Hariri Soheh memutuskan untuk mengembalikan standar bacaan MQ kepada aslinya, yakni kepada bacaan Kiai Yusuf Masyhar. Mungkin sepintas ijtihad ini persis seperti yang pernah dilakukan Sayyidina Utsman bin Affan r.a ketika membakukan qiraat al-Quran yang saat itu memiliki banyak perbedaan antar daerah. Beliau khawatir jika qiraat tidak dibakukan dan diakomodir menjadi satu, maka akan muncul fitnah yang lebih besar. Dari situ kemudian lahirlah mushaf imam atau biasa kita kenal dengan nama mushaf Utsmani.
Bagaimana qiraah Rama Kiai Yusuf Masyhar?
Kiai Fatoni Dimyati menyifati bacaan Rama Kiai seperti bacaan Syaikh Mahmud Kholil al-Hushoiri. Romo Kiai pernah berpesan kepada santri MQ Tebuireng, “Tirulah bacaan Syaikh Mahmud Kholil, bukan yang lain!” Tetapi, beliau juga memberi catatan, “Kecuali, tawalludnya Syaikh Mahmud jangan ditiru,” kenang Kiai Fatoni atau biasa dikenal Gus Toni.
Usut punya usut, ternyata bacaan Syaikh Mahmud Kholil al-Hushoiri adalah bacaan terbaik yang telah disepakati oleh ulama-ulama Mesir saat itu. Murattal beliau dipilih untuk diperdengarkan di Masjid Al-Husaini (Istiqlalnya Mesir) setiap menjelang sholat. Gus Toni menjelaskan, “Sebagian ulama-ulama Syiria ada yang menyifati beliau, karena saking enaknya didengarkan, seakan-akan beliau adalah orang yang membaca al-Quran langsung di depan Allah. Ada juga yang mengatakan beliau “Syaikhul muqri’ ad-dunya”, guru besarnya qari sedunia.”
Hamdalah, siang ini, kami bersama teman-teman IAMQ Sidoarjo, Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Gresik, dan Mojokerto sebagai tuan rumahnya berkesempatan menggali nilai-nilai Qiraah Muwahhadah dari para santri-santri senior MQ Tebuireng yang “menangi” perjuangan Rama Kiai Yusuf Masyhar dan pernah bermusyafahah-talaqqi kepada beliau. Beliau-beliau seperti K.H. Fatoni Dimyati (79-82) dan K.H. Abdulloh Afif (80an-93an) yang pernah merekam bagaimana bacaan Rama Kiai, ahwal-nya Rama Kiai, keistiqamahan Rama Kiai, dan semua hal yang menjadi teladan kita sebagai santri-santri beliau; diceritakan dengan begitu gamblang. Acara ini semakin lengkap dengan kajian tafsir yang selalu menggugah hati oleh K.H. Ahmad Musta’in Syafi’ie di penghujung acara.
Beberapa catatan penting dari majlis siang ini disampaikan oleh Kiai Fatoni diantaranya: pertama, bacaan santri MQ Tebuireng itu tartil dan miji-miji hurufnya. Inilah yang membuat bacaan MQ Tebuireng sangat khas, karena Rama Kiai sendiri selalu mengajarkan tartil, bi ma’na bertajwid.
Kedua, bacaan Rama Kiai sama dengan bacaan Syaikh Mahmud Kholil al-Hushoiri. Jika ingin mempelajarinya, sering-sering mendengarkan murattalnya.
Ketiga, tajwid menghasilkan bacaan yang indah, mukammilan min ghair takallufin, bacaan yang sempurna tanpa memaksakan/melebih-lebihkan. Kalau belajar tajwid tambah kaku bacanya, maka bukan tajwid namanya.
Keempat, guru yang membacakan al-Quran disebut muqri, kalau cuma menyimak saja disebut muhaffidz. Rama Kiai Yusuf Masyhar adalah muqri karena beliau selalu membacakan terlebih dahulu maqra fashahah dan ditirukan santri-santrinya.
Selanjutnya, keterangan disampaikan pula oleh Kiai Abdulloh Afif: pertama, Rama Kiai setiap mengimami sholat Isya, antara Isya hari ini dan besoknya, selalu berjarak 4-5 juz. Dugaan kami, beliau nderes hafalannya itu fi-sholat.
Kedua, Rama Kiai memberikan resep agar mudah menghafal ayat-ayat baru, yaitu dengan membacanya sebelum tidur. Ambil wudlu, sholat 2 rakaat, kemudian baca 3-5 kali ayat-ayat yang akan dihafal. Insya Allah paginya lebih mudah hafalnya.
Keterangan Kiai Ahmad Musta’in Syafi’ie;
Pertama, khilaf dalam Islam itu biasa. Di al-Quran, Allah biasa menyebut perbedaan pendapat. Seperti QS. Al-Kahfi: 22, ada yang mengatakan jumlah Ashabul Kahfi itu 3 + 1 (anjingnya), 5 + 1 (anjingnya), dan 7 + 1 (anjingnya). Jumlah yang terakhir adalah yang lebih kuat. Indikasinya adalah ayat selanjutnya Qul rabbi a’lamu bi’iddatihim. Yang dilarang adalah seperti dua pendapat pertama yang disifati Allah, rajman bil ghaib, angger nyawat, pendapat ngawur! Ini yang tidak boleh!
Kedua, dalam tafsir disebutkan ada wawu tsamaniyah. Di (ilmu) Nahwu tidak pernah ada. Kaidah ini untuk menyebut urutan dalam tradisi Arab di mana urutan itu 1-7 saja. Adapun urutan ke-8 selalu ditambahi dengan huruf wawu. Ini disebut wawu tsamaniyah. Contoh:
وَيَقُوۡلُوۡنَ سَبۡعَةٌ وَّثَامِنُهُمۡ كَلۡبُهُمۡؕ (الكهف: ٢٢)
Bandingkan dengan kalimat-kalimat sebelumnya yang menyebut jumlah di bawah 7. Atau, seperti:
ٱلتَّٰٓئِبُونَ ٱلْعَٰبِدُونَ ٱلْحَٰمِدُونَ ٱلسَّٰٓئِحُونَ ٱلرَّٰكِعُونَ ٱلسَّٰجِدُونَ ٱلْءَامِرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱلنَّاهُونَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱلْحَٰفِظُونَ لِحُدُودِ ٱللَّهِ (التوبة: ١١٢)
Kalimat ke delapan (ٱلنَّاهُونَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ) didahului dengan wawu. Begitu pula kalimat ke sembilan (wawu athaf), dan seterusnya.
Ketiga, termasuk cerita sahabat al-Walid bin Mughirah yang digadang-gadang menjadi Nabi akhir karena memiliki semua persyaratan lahiriyah, tetapi gagal total karena Nabi Muhammad yang dipilih Allah. Hal itu dipertegas dengan QS. Al-Qalam: 10-13 yang memberikan gambaran sifat al-Walid. Dari 1-7 sifat yang dipaparkan Allah semua diterima oleh al-Walid, tetapi sifat kedelapan sebagai anak zina (zanim) adalah sebuah aib yang baru ia ketahui sendiri dan diyakini setelah ia menanyakan kepada ibunya. Dari situlah al-Walid yakin bahwa Nabi Muhammad memang dibimbing oleh langit.
Keempat, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin ia tidak ahli dalam hal perdukunan. Semakin orang mengandalkan akalnya, semakin jauh ia dari kekuatan hatinya. Padahal, Allah mensifati orang-orang bertaqwa dengan hal-hal yang ghaib dan misterius dan itu hanya bisa dibenarkan oleh hati/keimanan yang memiliki kekuatan suprarasional (QS. Al-Baqarah: 1-5). Nabi Musa adalah Nabi yang sangat cerdas akalnya, tetapi digembleng oleh Allah dengan hal-hal yg suprarasional. Petualangannya dalam mencari Nabi Khidir adalah pelajaran tersendiri baginya. Bagaimana tidak? Sejak prapendidikannya saja Nabi Musa sudah disuguhkan dengan hal-hal yang “tidak masuk akal”.
قَالَ أَرَءَيْتَ إِذْ أَوَيْنَآ إِلَى ٱلصَّخْرَةِ فَإِنِّى نَسِيتُ ٱلْحُوتَ وَمَآ أَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيْطَٰنُ أَنْ أَذْكُرَهُۥ ۚ وَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِى ٱلْبَحْرِ عَجَبًا
Artinya, muridnya menjawab, “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali seitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” (QS. Al-Kahfi: 63)
Dalam tafsir disebutkan, ikan tersebut sudah mati, kemudian tiba-tiba hidup dan melompat dari keranjangnya, lalu berenang/berjalan sendiri menuju ke laut. Ini dalah sesuatu yang tidak masuk akal. Tetapi Nabi Musa memahami dan meyakini, “Hadza ma kunna nabghi.” Ini yang gue maksud, kira-kira begitu gumam Nabi Musa. Saat-saat inilah akal harus ditempatkan dibawah keimanan agar bisa menerima hal-hal yang suprarasional. Namun, di cerita selanjutnya, Nabi Musa kembali mendewakan akalnya ketika memahami sikap-sikap Nabi Khidir sehingga ia “tidak lulus”. Pendidikan yang diberikan oleh Allah.
Penutup, terlepas dari panjang kali lebarnya coret-coretan ini, yang pasti hari ini dan saat ini adalah kesan saya secara pribadi setelah sekian purnama tidak pernah menulis.
Yang jelas, ke depan adalah bagaimana informasi dan ilmu-ilmu yang telah diberikan oleh guru-guru kita siang ini bisa dirumuskan secara sistematis, bagaimana konten ilmu ala Qiraah Muwahhadah bisa kita tulis dan bakukan, termasuk juga metodologi pengajaran dan kurikulumnya agar bisa ditransformasikan dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya.
Ini juga menjadi cita-cita luhur dan perjuangan Rama Kiai Yusuf Masyhar agar Qiraah Muwahhadah ala MQ Tebuireng bisa lebih dikenal dan dipraktikkan secara nasional sebagaimana cerita Kiai Muslihan Ahmad Lamongan sebagai santri yang sering ndereaken beliau.