Kesannya memang galak dan tegas. Ketika ia menjuarai nomor dua Musabaqah Hifzhil Quran tingkat Nasional, antusiasme warga Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ Tebuireng) begitu hangat. Ia disambut dengan suka cita yang sangat. Kala itu, organisasi kepengurusan santri menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (istilah Orde Baru). Sebelum negara Republik Indonesia menyelenggarakan pemilu langsung, MQ Tebuireng sudah melaksanakan pemilu langsung tersebut secara demokratis, tanpa money politic.
Namun, tak dapat dipungkiri, latar belakang fiqhnya begitu kuat. Semua serba hukum. Santri-santri yang semula antusiasme secara berangsur-angsur surut, kecewa atas kepemimpinannya di JTQ (Jam’iyyah Tahfidhil Quran). Banyak santri yang terhukum atas kebijakannya.
Cak Imam, demikian panggilan akrab pada masa di MQ Tebuireng. Tubuhnya gempal, tegap. Anak seorang kiai kampung di Nglegok, Blitar. Kampung yang tidak berjarak jauh dari Candi Penataran.
Ia menghafal Al-Quran terbilang cepat. Sekira sembilan bulan, setor hafalan setiap hari kepada K.H. Fauzan Kamal. Resep menghafalnya memang harus “lanyah”. Sebelum benar-benar menghafal, ia “nderes” tidak kurang dari sepuluh juz perhari. Itu dilakukan setiap hari tanpa putus, bahkan setelah selesai wisuda dan mendapat status hafizh. Jadi, setiap tiga hari sekali, ia menghatamkan Al-Quran sebelum memasuki dunia menghafal. Aktivitas ini dilakukan olehnya secara istiqamah, tanpa putus hingga ajal menjelang.
Namanya mulai menanjak populer sejak menjadi ketua JTQ. Pada masanya pula, JTQ kemudian berubah menjadi MTT (Majelis Tarbiyah wat Ta’lim). Organisasi intera pesantren yang mengurusi segenap keperluan aktivitas belajar mengajar, mulai dari bangun malam, jam sekolah, waktu setoran, waktu jamaah, waktu roan (gotong royong), koperasi dagang dan koperasi jasa boga, hingga waktu-waktu mujahadah.
Cak Imam menyelesaikan pendidikan di MQ Tebuireng terbilang sangat baik. Bukan saja karena berhasil “mentas” di panggung nasional, ia tamat Madrasah Aliyah dan Qiraah Sab’ah. Prestasi yang memiliki previllage tersendiri. Karena, tidak semua santri melampaui prestasi itu. Ia mesantren di MQ Tebuireng setelah tamat Aliyah di Blitar, tidak dalam usia yang lebih muda. Sembari belajar di Aliyah MQ Tebuireng, ia masih mampu menyelesaikan kuliahnya di Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) Tebuireng.
Setelah menikah, ia mulai istiqamah membangun pesantren sendiri di desanya, meskipun mertuanya juga memiliki pesantren. Secara perlahan, pesantren yang semula hanya berbentuk kamar-kamar kecil, kini sudah bertumbuh megah berkat kedisiplinan dan ketelatenannya.