“Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa.” Begitulah kutipan dari Presiden Jancukers Sujiwo Tejo. Dan beginilah kisahku yang kuberi judul “Melawan Kemustahilan”. Selamat menyimak.
Suatu hari aku berkhayal menjadi juara lomba puisi. Aku berharap sekali bisa membacakan puisiku pada momentum yang tepat. Aku berkhayal, audinces mengamini doa yang terkandung dalam puisiku. Puisi ini aku persembahkan untuk seorang wanita. Aku tulis dengan tulus (semoga).
Inspirasi itu hadir begitu saja. Lahirlah puisi yang kuberi judul Gerimis. Minggu malam, 2 November 2014 kebetulan aku mendengarkan acara Puisi Pro 2 RRI Jogja. Lantas kukirimkan puisiku via SMS. Di penghujung acara, diumumkan bahwa puisiku menjadi yang terbaik di babak grup penyisihan. Hatiku gembira dan berbunga-bunga. Selanjutnya puisiku akan diadu dibabak semifinal.
Hari “pertarungan” tiba (16/11). Para semifinalis diminta membacakan puisinya langsung dari studio radio Pro 2 RRI jogja yang saat itu beralamat di Jalan Ahmad Jazuli, Kota Baru. Dari Magrib hujan turun sangat lebat. Lewat waktu Isya pun hujan masih deras. Berangkat dengan sepeda onthel ditengah guyuran besar banyu langit tentu akan sangat berat.
Mau pinjam motor anak kos tapi belum begitu akrab karena aku baru tiga bulan di sini. Aku SMS dan telepon teman-dekat satu kelas dengan niat pinjam motor tapi hasilnya nihil. Normalnya, acara Puisi Pro 2 RRI berlangsung pukul 20.30-22.00. Pukul 21.40, hujan mulai berganti gerimis. Sebentar lagi waktu “pertarungan” berakhir, kalau aku tidak hadir berarti “kalah”. Aku “nekat” berangkat ke studio, dengan sepeda onthel temanku yang sudah kupinjam dari siang (meski agak kempes).
Aku SMS crew radio bahwa aku sedang dalam perjalanan ke studio. Aku yang sempat semangat dan berbahagia karena puisiku sukses di babak awal, jangan sampai menyerah ditengah jalan, harus terus berjuang—sampai final. Kakiku menggowes sepeda begitu cepat, namun tetap saja jalannya lambat karena bannya kempes. Di tengah perjalanan pedal lepas, aku berhenti dan memperbaiki. Sepertinya aku sedang melawan kemustahilan. Namun api semangat di dalam dadaku terus menyala.
Pukul 22.10 aku tiba di studio, dan untungnya masih diperbolehkan tampil. “Nah ini dia anaknya,” “Ayo, cepat-cepat,” ucap crew radio. Aku membacakan puisi Gerimis-ku dengan perasaan yakin, senang dan plong. Kebetulan juga saat aku membacakn rangkain bait-bait gerimis, musik gerimis dari langit pun ikut mengiringi. Selesai. Saat pengumuman, aku dinyatakan masuk final. Aku sangat bersyukur.
Enam hari menuju final. Aku sering latihan baca puisi di kamar. Di kampus, aku kerap berlatih dan meminta saran dari teman-teman, aku juga belajar dari video para juara lomba baca puisi yang aku tonton di Youtube.
Final (22/11) berlangsung di Ambarukmo Plaza. Ini adalah pengalaman keduaku mengikuti lomba baca puisi. Dulu sewaktu MA pernah ikut namun kalah. Setelah aku berbagi cerita bahwa aku berhasil lolos babak final di lomba baca puisi ini, beberapa teman kos dan kampus ikut memberikan dukungan moril. Mereka ikut datang ke tempat acara untuk menyemangati.
Peserta grand final ada 12 orang. Aku kebagian nomor urut 4. Nomor/angka 4 menurut sebagian orang merupakan angka sial. Tapi saat itu aku tak tahu apa-apa. Mengalir saja dan berusaha tampil maksimal dengan segenap kemampuan yang telah kutempa. Dan akhirnya aku sukses meraih Juara 2. Tak menyangka bisa juara, seperti mustahil sebab sebelumnya aku tak punya pengalaman membaca puisi di hadapan banyak penonton seperti di mall ini. Apa lagi pesaingnya juga banyak yang lebih mumpuni dengan jam terbang yang lebih banyak.
***
Gerimis
; untuk wanita berparas embun
Selalu ada gerimis di dalam dadaku
Tiap teringat senyummu yang manis
Rerintiknya selalu memuji namamu
Dalam hening yang tak tertakar
Gerimis selalu mengetuk-ngetuk kalbuku
Menyiramkan kesejukan
Juga menyuarakan rindu yang pilu
Pada dirimu yang terlalu kukagumi dalam diam
Bibirku tak pernah bisa bicara lantang layaknya deras hujan
Hanya berbisik, samar-samar
Tersirat, itulah yang meluncur dari gerimis jiwaku
Gerimis memang seperti tangis
Yang melayarkan doa-doa sunyi
Memohonkan kebahagian untukmu, wanita berparas embun
Yang menyemai damai
Kadang menguntai haru dalam hirupan napasku
Engkau, aku, di ruang gerimis
Adalah sepotong kisah
Yang berharap jadi sepasang kekasih
Menyebarkan dan menyuburkan benih-benih cinta
Jogja, 2014
***
Tahukah kau ujung cerita ini? Happy ending atau sad ending? Aku tak tahu ini disebut apa. Yang jelas, wanita yang menginpirasiku menulis puisi di atas kini telah menikah dengan lelaki lain yang memang sangat pantas dengannya dan telah dikarunia seorang anak yang lucu, imut dan menggemaskan.
Jogja, 24 Agustus 2021
***