Sejak saudara Luthfi Assyaukanie melontarkan postingan pemantik dalam wacana kekinian, praktek menghapal menjadi bahasan serius dan telah mengundang reaksi yang beragam dari berbagai kalangan. Tentu, hal ini menanggapi persoalan kekinian yang terus menggema melalui promosi program-program menghapal Al-Quran (selanjutnya dibaca Tahfidz).
Dari segi kekinian, dapat saja fenomena kampanye dan promosi yang berkembang di masyarakat, bahkan juga pemerintah (daerah) turut memprioritaskan program ini sebagai branding (simbol) masyarakat religius. Masyarakat beragama. Dalam asumsi ini, masyarakat dapat dikatakan religius manakala jumlah para Hafidz diperbanyak yang disertai dengan dalil-dalil keutamaan menghapal Al-Quran. Seperti literasi dan enterpreneurship yang sering digalakkan melalui kampanye, sosialisasi, bahkan promosi media, Tahfidz kemudian menjadi program unggulan. Dan, seperti literasi dan enterpreneurship tersebut hanya menghasilkan keuntungan bagi penyelenggara-penyelenggara acara (event), motivator, bahkan produk-produk turunan seperti buku dan aksesoris-aksesorisnya.
Pada sesi ini, Net.26.id menghadirkan topik yang menarik tersebut ke dalam ulasan-ulasan pendapat secara diametral. Membaca wacana dari dua sudut pandang dialektis, pro dan kontra.
—
Dalam akunnya, Luthfi Assyaukanie (LA) memantik satu penyataan dalam tulisan pendeknya dengan memberi titel “Menghafal Quran” pada 16 Juni 2021 yang lalu. Sebagai tokoh yang hidup di dunia akademis, intelektualisme tentu tidak bisa diabaikan di dalam menilai tulisan LA tersebut. Ada pertimbangan-pertimbangan akademis yang perlu diperhatikan, tidak dipandang secara emosional, apalagi dengan tuduhan yang macam-macam. Hadapi dengan bijak! Sebab, ada sesuatu yang sedang dipikirkan olehnya.
Memang, LA banyak berbicara tentang wacana mushaf Al-Quran dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Teks Al-Quran (Ulumul Quran) yang membahas banyak hal masalah, mulai dari praktek pembukuan (kodifikasi) dan perbedaan cara baca (qiraat) Al-Quran, maupun situasi sosial yang ditimbulkan dari cara baca (penafsiran). Tulisan LA berikut adalah tulisan singkat yang dapat disimak demikian sebagaimana berdampak pada praktek menghapal dalam pendidikan, terutama pesantren yang masih melanggengkan tradisi menghapal tersebut;
—
Kalau Anda hidup di lingkungan seperti saya, tak ada yang istimewa dengan hafalan Quran. Orang yang terpukau dengan penghafal Quran umumnya gak bisa ngaji dan gak tahu banyak tentang agama. Mereka gampang terpesona dengan sesuatu yang mereka gak paham. Mereka mengagung2kan sesuatu yang sebetulnya biasa saja.
Tak ada yang istimewa dengan orang bisa hafal Quran. Gak perlu kecerdasan, apalagi IQ tinggi. Modal hafal Quran itu cuma satu: konsentrasi dan konsistensi. Kalau Anda bisa menyisihkan waktu 5 jam sehari, mengulang2 bacaan dan konsisten melakukannya selama setahun, Anda pasti hafal 30 juz. Kalau Anda gak mampu, pasti ada yang salah. Mungkin Anda bosan. Mungkin Anda gak fokus. Hafalan adalah soal memori, ingatan, bukan soal kecerdasan.
Saya pernah menghafal 6 juz Quran kurang dari 3 bulan (sambil menyelesaikan dua mata kuliah di Musim Panas). Saya melakukan itu sebagai syarat kelulusan di kampus saya dulu. Bagi yang belum tahu, saya kuliah di Yordania, mengambil jurusan agama, di mana syarat kelulusannya harus menghafal minimal 6 juz Quran. Untuk lulus, kami diuji oleh tiga orang hufadz (penghafal Quran) yang mengetes ayat-ayat secara random. Semua pertanyaan dilakukan dalam bahasa Arab.
Angkatan saya sekitar 70 mahasiswa, sebagian besar orang Arab, hampir semuanya lulus. Artinya, hampir semuanya hafal minimal 6 juz. Tak ada yang istimewa sama sekali. Sebagian teman saya menambah hafalan mereka. Ada yang hafal 15 juz, ada yang 20 juz, dan ada yang 30 juz. Itu bukan soal kecerdasan, tapi soal pilihan. Saya pernah hafal 10 juz. Dan saya bisa hafal 30 juz kalau saya mau.
Hafal Quran juga gak ada hubungannya dengan kesalehan. Sebagian besar teman saya yang hafal Quran dulu adalah anak-anak muda normal, seperti umumnya mahasiswa, ada yang nakal, ada yang lupa shalat, ada yang berbuat maksiat. Gak ada pengaruhnya dengan hafalan mereka. Kalau mereka susah menghafal, ya karena mereka lagi gak konsentrasi saja. Begitu konsentrasi, mereka bisa cepat hafal lagi.
Menghafal Quran itu soal manajemen waktu. Kalau Anda punya banyak waktu luang alias nganggur, Anda bisa melakukannya kalau mau. Hampir semua teman saya yang pernah hafal Quran, berkurang/hilang hafalannya, seiring berjalannya waktu. Bukan karena kecerdasan mereka raib, tapi karena mereka tak punya waktu luang seperti dulu lagi untuk mengulang-ulanginya. Saya pun sudah lupa sebagian besar juz yang saya hafal, karena jarang saya baca. Ada banyak kerjaan lain yang lebih penting yang harus saya lakukan.
Menghafal itu bukan prestasi istimewa. Gak perlu diglorifikasi atau disanjung setinggi langit. Apalagi dikasih tiket gratis untuk sesuatu yang tak layak mereka dapatkan.
—