Pengertian sastra sering dibekukan pada kasus-kasus pembuatan puisi, syair, cerpen, novel, naskah drama, maupun sekenario. Cak Nun termasuk orang yang taat aturan. Ia tidak mau keluar dari koridor dirinya sebagai seorang penyair (basis awal namanya mulai naik). Ia terpaksa membuat koridor sambungan yang menghubungkan syair dan instrumen musik. Maka, jadilah musikalisasi musik. Begitu pula, WS Rendra terpaksa membuat sebuah koridor sendiri yang dinamakannya sebagai “Sastra Pamplet”. Tak kalah untuk menaikkah “rating”nya, Danarto dan Abdul Hadi WM menggunakan pola yang sama dengan menaikkan bendera status sebagai “Sastra Sufi”.
Ketika masa-masa sastra masih memerlukan wilayah dan ideologi, mereka membagi dan menempati posisi masing-masing. Hingga sekarang, sebagian masih sibuk berkutat dengan istilah-istilah sebutan genre yang dilingkup oleh balutan-balutan ideologi.
Perlu dorongan kuat untuk menelusuri sosok Affandi atau S Soedjojono di ranah seni rupa. Begitu pula, Pramoedya Ananta Toer (PAT) ketika lolos dari cengkeraman rezim di ranah sastra. Pada masa rezim masih sangat antipati dengan ideologi komunisme di satu sisi, sementara mengagung-agungkan ideologi militerisme di sisi yang lain. Mungkin, PAT maupun sahabat-sahabatnya masih sempat mengelak dan berlindung di bawah bendera Taman Siwa manakala mereka masih sebagai siswa pada masa sebelumnya. Mereka tidak mau dikait-kaitkan dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang sering ditengara sebagai “underbow PKI” (istilah yang akrab pada masanya). Mungkin, pula mereka akan mendaku sebagai bagian dari underbow tersebut manakala PKI benar-benar memenangkan sejarah pada waktu itu. Siapa yang tahu? Kuasa rezim juga akan menentukan jalan sejarah sastra. Sementara metafora “plastis dan grafis” begitu laris digambarkan oleh WS Rendra.
Maka, pertanggungjawaban sastra diperlukan, bukan sekadar manifesto atau orasi yang tak bertanggung jawab. Menunjukkan jatidiri itu penting. Berdiri pada posisi apa dan di mana?
Dan, hal yang paling elegan adalah berdiri pada posisi diri sendiri, tanpa harus melibatkan atau membuat aliran sendiri, meskipun di belakang hari masih tetap memiliki pengaruh dan pengikut. Menempatkan PAT sebagai PAT dengan alam kognisinya tanpa harus ribet meluruskan dirinya terlibat PKI atau tidak. Mengurusi PAT sholat atau tidak? Mengurusi PAT termasuk realisme atau tidak? Semua dikembalikan kepada PAT sebagai makhluk sejarah, baik sebagai aktor maupun sebagai saksi kehadiran dalam sebuah peristiwa. Dalam kasus dan posisi seperti ini, seorang sastrawan memiliki ranah atau wilayah yang tak bisa diadili.
Era 1990an, ketika selusur arus masih mengikuti jalur bis antara Yogya-Solo-Madiun-Jombang-Kediri-Surabaya-Malang. Terminal-terminal bis masih dipenuhi oleh penjaja-penjaja asongan yang menjajakan penganan. Mereka menawarkan beragam minuman, alat dan jamu-jamu viagra, serta foster-foster bergambar menarik birahi. Di balik itu, majalah bergambar serta buku-buku cerita stensil menjadi memori alam bawah sadar penumpang. Satu di antara yang masih mereka selesaikan. Buku-buku tipis satu serial yang bisa dibaca tuntas dalam sekejap diberi nama-nama yang melekat: Freddy S atau Enny Arrow. Nama yang tidak pernah diketahui siapa pemilik hidungnya. Mereka tidak pernah bertanggung jawab sebagai orang beken yang biasa memajang foster di gedung-gedung bioskop atau di tepian jalan. Mereka mungkin akan bertanggung jawab dengan cara lain di luar panggung-panggung resmi. Hal yang sama terjadi pada “Langit Makin Mendung” buah karangan Ki Pandji Kusmin yang masih misterius hingga sekarang.