Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
(W.S Rendra)
vii, 1000 halaman; 16 x 24 cm; ISBN 978-979-094-538
Perdefinisi, kolase adalah “komposisi artistik terbuat dari berbagai bahan, seperti kertas, kain, kaca, logam, kayu, dan lainnya yang ditempelkan pada permukaan gambar. Kolase merupakan karya seni rupa dua dimensi yang menggunakan berbagai macam paduan bahan.”
Diksi “kolase” memberi makna berbeda dalam kumpulan-kumpulan tulisan di dalam buku ini selama perjalanan yang tidak terlalu serius memburu partikel-partikel yang tercecer. Sebab, partikel-partikel tersebut muncul dalam pengalaman dan perjalanan mengelilingi pulau Jawa, bahkan sekadar luar Jawa, beserta inspirasi-inspirasi tak berbentuk dalam wujud yang nyata. Sebagian terlahir dari kerangka masa lalu berupa bacaan-bacaan inspiratif untuk mematerikan ide dan pengalaman. Rangkaian-rangkaian yang tertuang di dalam hidangan Kolase kemudian terwujud dari kandungan isi tentang budaya, sastra, sejarah, seni, filsafat, dan pendidikan.
Dalam hal sejarah misalnya tak dapat lagi dilihat dari sudut, grafis, dan potret dari bingkai masa lalu yang dekat. Ketika konstruksi dan alam pikiran sudah membentuk definisi. Ada sisi-sisi yang perlu direvisi seperti pemahaman tentang cerita dan legenda yang beredar sejak Mataram berkuasa. Sudut pandang kejawaan lebih bersifat Mataram Sentris daripada fakta-fakta keragaman budayanya. Dan, fakta itu tertuang jelas ke dalam anggitan penguatan wacana yang hampir tak terbantahkan sejak abad ke-15: memahami kisah Syekh Siti Jenar sebagai fakta sejarah adalah sebuah kekeliruan besar. Beredarnya kisah tersebut seolah tidak memberi ruang batas yang jelas, karena hampir merata berada di tempat atau lokasi yang berbeda. Kisah tersebut dapat ditemui di Cirebon, Demak, Jepara, atau bahkan di pedalaman Jawa sebagai legitimasi kepercayaan yang kemudian dikenal sebagai Kaum Abangan. Dengan kata lain, fakta-fakta yang dihadirkan adalah sebuah fakta sosial, budaya, bukan fakta sejarah yang melibatkan sebuah peristiwa.
Demikian pula, angka sembilan (songo) mungkin memiliki makna mistis dan magis bagi masyarakat Jawa pada umumnya sehingga kedatangan Walisongo digambarkan secara bergelombang. Hal ini bertentangan dengan fakta budaya: Cirebon sebagai wilayah yang memiliki kedaulatan sendiri, Demak memiliki wilayah kedaulatan sendiri, serta Tuban memiliki kedaulatan yang sama. Masing-masing memiliki kehendak dan kuasa. Mengembalikan anggitan “Wali Sangha” sebagai komunitas atau persaudaraan lebih representatif daripada membayangkan angka sembilan yang sering dianggap sakral. Kata “Sangha” sudah dikenal dan digunakan dalam tradisi dan budaya masyarakat komunitas pemeluk Buddha sebagaimana kata “Sangha Buddha” lebih membudaya sebagai persaudaraan kaum penganut Buddha.
Dari pemahaman komunitas sebagai kelompok budaya, pesantren terlahir dari tradisi yang panjang sebelum kaum muslimin datang ke Nusantara. Kelompok tersebut membentuk suatu Sima (tanah suci) atau Perdikan (diambil dari kata Tanah Merdikan, merdeka). Komunitas yang berbeda bila dibandingkan dengan ujaran pesantren dalam pengertian belakangan ini sebagai sebuah lembaga pendidikan.
Pada kasus kesenian yang masih dibayang-bayangi oleh ideologi tertentu telah mengaburkan makna seni dalam artian ekspresi dan kognisi. Seni lebih dipandang sebagai label dan merek daripada sebuah eksistensi. Mengembalikan pengertian seni sebagai ekspresi individu yang bertanggung jawab atas prestasi dan ekspresinya jauh lebih bijak daripada berlindung dari kesucian.
Kolase ini merupakan kumpulan-kumpulaan tulisan yang sudah dirintis sejak 2012, jauh sebelum kompleksitas ketidakpercayaan dan kenihilan akan zaman yang tak menentu. Ketika situasi bangsa sudah mulai kehilangan harapan dan anti kebenaran (post-truth). Ada anggapan kebenaran itu tidak benar-benar ada oleh sebuah otoritas semu, kecuali kepada hak-hak individu untuk percaya kepada diri sendiri.