Setelah membaca postingan Saudara Luthfi Assyaukanie dalam “Plus Minus Menghapal dalam Praktek Pendidikan (Bagian ke-1)”, kembali Net26.id menghadirkan wacana pembanding dari postingan-postingan Abuya Husein Muhammad pada beberapa waktu silam. Postingan-postingan Abuya bukan berupa counter attack terhadap postingan Saudara Luthfi Assyaukanie, karena Abuya sudah menulis jauh sebelum postingan tersebut muncul. Dalam tajuknya, Abuya Husein Muhammad memberi judul “Menghapal versus Menalar” yang ditulis dalam enam postingan.
Net26.id menghadirkan kembali tulisan-tulisan Abuya Husein Muhammad karena memandang relevan perkembangan metode di dunia pendidikan yang belakangan juga marak dengan kemunculan sistem pendidikan di Indonesia yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dikenal pula dengan sebutan K-13.
—
Menghapal versus Menalar (1)
Ada adagium yang selalu dipegang begitu erat oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam konvensional, yaitu :
الحافظ حجة على من لم يحفظ
Al-hâfizh hujjah alâ man lam yahfazh, (orang yang hapal menjadi argumen terhadap orang yang tidak hapal). Dengan kata lain orang yang hapal teks-teks akan selalu dapat memenangkan perdebatan atau diskusi ketika berhadapan dengan orang-orang yang hanya mengandalkan logika, nalar atau akal semata. Ini karena tekstualisme dalam tradisi itu menjadi ukuran otoritatif atas suatu masalah. Maka pendidikan kemudian diarahkan agar anak-anak didik mampu menghapal sebanyak-banyaknya teks.
Dalam sistem pendidikan Islam di banyak pesantren, untuk tidak mengatakan semua pesantren, metode hapalan sangatlah ditekankan. Pada umumnya para santri diwajibkan menghapal ilmu-ilmu agama yang sudah diringkas dalam bentuk syair-syair yang mudah dinyanyikan dengan lagu-lagu yang beraneka ragam. Ilmu-ilmu yang sudah disyairkan tersebut, misalnya “Matn Zubad” untuk fiqh mazhab Syâfiî, “Tuhfah al-Athfal” (ilmu Tajwid), “Al-Kharidah ak-Bahiyyah”(ilmu Tauhid), “Nazham Amrithî”, dan “Alfiyah Ibnu Mâlik” (nahwu, gramatika bahasa Arab), “Al-Sullam al-Munawaraq” (mantiq, logika), “Al-Jauhar al-Maknûn” (sastra Arab), “Nazham al-Baiquniyah” (ilmu hadits), “Nazham Waraqat” (ushûl fiqh), “Al-Faraid al-Bahiyyah” (kaedah-kaedah fiqh) dan lain-lain. Di Mesir dan negara-negara Timur Tengah sebagian besar mahasiswa dan pelajar, bahkan menghapal kitab atau diktat/muqarrar yang masih dalam bentuk prosa atau narasi yang berpuluh halaman itu.
17,06,2020
HM