Menes-Net26.id PerhelatanHaflah Akhirussanah Ikhtitamul Kutub Ma’had Al-Mu’awanah di bawah naungan Yayasan Perguruan Islam MALNU tersebut diselenggarakan dengan meriah, karena melibatkan kalangan orangtua wali santri. “Kelas Ibtida’ 1 ini selalu menjadi yang paling mengundang ramainya apresiasi. Pesertanya paling buanyak. Kehadiran wali santri paling lengkap. Apresiasi paling heboh,” tulis Agustin, lagi. Kegiatan Haflah dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut yang diisi dengan penampilan santri-santri di atas panggung dari berbagai tingkatan kelas, mulai dari tingkat dasar (Ibtidaiyah), Tsanawiyah, hingga Aliyah. Pada tingkat Ibtida, mereka biasa menghapal nadzaman berbahasa Sunda yang unik. Sementara tingkat Tsanawiyah menghapal Nadzaman Maqshud dan Safinatun Najah. Baru kemudian pada tingkat Aliyah, para santri menghapal nadzam Alfiyah Ibnu Malik.
Kegiatan Haflah Akhirussanah Ikhtitamul Kutub Ma’had Al-Mu’awanah ditutup dengan taushiyah oleh Habib Umar bin Salim yang datang dari Pasuruan, Jawa Timur. Habib yang biasa tampil rapi, memasukkan kemejanya ke dalam lipatan sarung, tersebut memberi pesan-pesan; “Jangan sombong, nyari ilmu niatnya yang baik. Seperti Nabi Musa waktu berguru kepada Nabi Khidir, harus sabar, tidak boleh sombong, tidak boleh suudzon kepada guru. Kalau mesantren, carilah pesantren yang memiliki sanad yang jelas,” terangnya. “Mudah-mudahan Anda bisa membawa nama besar pesantren, membanggakan orangtua, guru-guru, ulama, sampai Baginda Rasulullah Saw. Punya kesempatan belajar ilmu agama itu karunia yang luar biasa. Pesantren yang sanadnya nyambung kepada Nabi Saw itulah yang dicari. Pesantren yang ilmu gurunya tidak bersanad, ilmunya tidak akan manfaat.”
“Belajar bukan untuk mencari pintar. Yang dicari adalah ilmu yang diridlai Allah. Ilmu yang menjadikan kita taat kepada Allah dan RasulNya. Pakailah ilmu Nabi Musa, tawadu saat ketemu Nabi Khidir.”
“Menuntut ilmu akan menghabiskan usia muda. Harus sabar. Waktu sudah habis untuk mencari ilmu, kalau sudah dapat, amalkan agar bermanfaat!”
Dalam catatan Ning Agustin;
“Perjalanan nyantri dari satu pesantren ke pesantren lain itu dinamakan ‘Santri Kelana’. Istilah dalam hasil riset Dhofeir. Dari itu, Abuya Dimyati orangtua dari Abuya Muhtadi Pandeglang pun, sempat menjadi santri kelana mulai daerah Tatar Sunda hingga daerahnya ‘Bambang Pranowo’. Bahkan Syekh Nawawi Al-Bantani di samping wilayah Nusantara beliau berkelana sampai negeri di mana Baitullah berada. Itu semua ditempuh dalam rangka mengkaji berbagai disiplin keilmuan. Sehingga menghasilkan santri unggul yang komprehensif dalam pemahaman keagamaan.”
Sejarah Perguruan Islam MALNU, Mathla’ul Anwar Linahdlatil Ulama, Pusat pada awalnya diberi nama Mathla’ul Anwar yang didirikan di Menes pada 1335 Hijrah/1916 Masehi. Di antara para pendirinya adalah K.H. Abdurrahman bin Jamal, K.H. Endang Muhammad Yasin, K.H. Tubagus Soleh Kananga, dan K.H. Arsyad Tegal, Menes, kakek dari K.H. Tubagus A. Ma’ani Rusydi (Ketua Umum PB MALNU Sekarang). Pada 1926., nama Mathla’ul Anwar disempurnakan menjadi Mathla’ul Anwar Linahdlatil Ulama (MALNU) sesuai dengan kesepakatan para ulama murid dari Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani ketika mendirikan Jam’iyah Nahdlatil Ulama di bawah pimpinan Hadlratussyekh KHM Hasyim Asy’ari.