Indonesia dan masa depan menjadi tugas generasi di masa sekarang. Dengan pola pendidikan yang benar akan dihasilkan masyarakat yang juga benar di masa depan. Sebab, masa depan adalah milik mereka, generasi muda. “Masyarakat yang kita lihat sekarang hasil produksi masa lalu. Kurikulum masa lalu,” ujar Yuslim Fauzi, pendiri SD Sains Nusantara Kebumen. Pengusaha yang sukses menjalankan bisnis peralatan kantor dan sekolah ini cukup memiliki alasan untuk menyebutkan kemajuan-kemajuan yang harus dicapai oleh generasi mendatang. “Saya bicara masa depan. Orientasi saya ke depan, bukan ke belakang,” tegas Yuslim, lagi.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki bonus demografi yang melimpah saat ini. Bila tidak dikelola dan diproyeksikan dengan benar, maka Indonesia akan mengalami situasi yang pelik dengan dirinya. Ironisnya, bonus demografi tersebut hanya terjadi sekali dalam kurun waktu yang lama. Dengan kata lain, apabila bonus demografi tidak dimanfaatkan dengan betul-betul maksimal, maka semua seperti akan ambyar.
Bonus demografi adalah populasi penduduk di suatu negara yang masuk ke dalam kategori usia produktif (antara usia 15 sampai 65 tahun) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Keadaan ini membawa satu harapan yang harus dilalui melalui proses yang panjang dan terencana. Tidak dalam situasi yang sebentar dan instan.
Dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 183 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah, tantangan pendidikan di Indonesia adalah menghadapi situasi eksternal yang pelik. “Pada era yang dikenal sebagai disrupsi ini memiliki ciri-ciri: uncertainty (ketidakpastian), complexity (kerumitan), fluctuity (fluktuasi), ambiguity (kemenduaan) yang berdampak terhadap kehidupan manusia. Era ini mempengaruhi kehidupan manusia untuk dapat melakukan upaya penyesuaian yang cepat terhadap setiap perubahan kehidupan secara mendasar.”
Untuk melakukan penyesuaian yang cepat terhadap setiap perubahan kehidupan secara mendasar, maka budaya merupakan orientasi esensial yang harus dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan. Dengan “Semakin menguatnya faham transnasional yang berpotensi menggeser cara beragama khas Indonesia yang moderat, toleran dan membudaya”, maka “…pengembangan kurikulum dan pembelajaran PAI harus berbasis kepada pembiasaan, pembudayaan dan pemberdayaan untuk membentuk peradaban bangsa.”
Strategi tripusat pembelajaran harus mampu menciptakan Tripusat Pendidikan (madrasah, keluarga, dan masyarakat); ketiganya dapat membentuk kesatuan budaya yang saling mendukung di dalam memelihara kelangsungan kemanusiaan. Sebagaimana disebutkan dalam Sila ke-2 Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Nilai-nilai kemanusiaan harus dikembalikan kepada posisi dan porsi yang tepat. Dengan kemajuan teknologi dan informasi, manusia tidak boleh kalah dengan teknologi dan informasi-informasi yang tidak benar. Harus ada pemahaman budaya yang kompleks dari sebuah institusi pendidikan.
Dengan demikian, hanya budaya, media pendidikan dapat memanusiakan manusia. Sebab, budaya sebagai instrumen penguat agama Islam dan nilai-nilai agama Islam akan memperkaya budaya bangsa. Pendidikan Agama Islam (PAI) di lemabaga-lembaga pendidikan, utamanya madrasah, “…harus juga menjadi instrumen perekat kehidupan sosial yang majemuk dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam konteks kehidupan global, isu yang terkait dengan lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, serta semakin terbukanya akses pendidikan secara global.”