Seandanya tidak pernah ada partai-partai Masyumi, PKI, PSI, PNI, dan lain-lain; apakah akan muncul sastrawan-sastrawan Islam atau yang sengaja memupuk kasalehan dengan sematan sastra sufi? Wallahu a’lam. Sastra dengan kegenitan ideologi. Karena, tak mampu menyelami lebih dalam arti dari sebuah sastra dan susastra.
Membayangkan susastra laksana bintang terang atau rembulan di langit. Dia akan muncul di tengah-tengah kerimbunan kelam. Dia akan lepas dari kepentingan mayapada yang penuh geliat. Hendrik Yuda Wahyu Alek dalam “Skripsi” yang diberi judul Pemikiran Kritis WS Rendra mengungkapkan; W.S Rendra merupakan sastrawan yang mempunyai caranya sendiri untuk menunjukkan perjuangannya, dia menanggapi segala fenomena sosial kemanusiaan juga pertunjukan politik lewat karya-karyanya, sebagai peperangan, yang dilakukan tanpa senjata, tanpa pasukan.
Ungkapan ini menyiratkan keterseretan W.S Rendra ke dalam sebuah siklus pergulatan manusia di tengah pusaran mayapada. Jagad yang tak memerlukan representasi jauh-jauh ke alam kelana.
Namun, Rendra akan terus bertanya tentang eksistensi dirinya. Dia memerlukan wujud di luar dirinya yang tak tercampur oleh ide-ide siapapun, termasuk dirinya. Ia ingin sastranya berbicara sendiri, tanpa intervensi. Dalam “Sajak Orang Kepanasan”, Rendra menyebutkan:
Karena kami arus kali//Dan kami batu tanpa hati//Maka air akan mengikis batu.
Geloranya seperti air yang mengalir, melintasi sela-sela bebatuan. Dengan kelenturan, ia bisa berkelok kesana kemari. Seperti ide tidak benar-benar dalam siklus yang diinginkannya. Ia tak lagi mampu mengendalikannya. Sebagaimana akhirnya seperti sebuah penyesalan dan tidak. Kata tidak akan memiliki daya kekuatan dengan kelemahannya, kecuali ia menyeret masuk ke dalam lubuk yang dalam.
ya, apalah artinya sebuah kata//yang ditulis di atas pasir//apalah artinya undang-undang//yang dicetak di atas air?
Kata hanya sebatas lalu yang perlu. Dan, dijadikan alat untuk sebuah kenyataan. Hidup dalam khayalan//Hidup dalam kenyataan tak ada bedanya//Karena khayalan dinyatakan//Dan Kenyataan dikhayalkan.
Semua bisa kontradiktif dalam belaian kata-kata; Bukan maut yang menggetarkan hatiku, tetapi hidup yang tidak hidup, karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya.
Sebuah ujaran yang tak tentu arah seperti air yang terus mengalir. Ia bisa menggambarkan sebuah ketidakberdayaan, namun memiliki kepastian di dalam arah yang ambigu.
“Dalam Sajak Sebotol Bir” adalah puisi bentuk lain dari manifestasi Rendra yang lain. Hiburan kota besar dalam semalam,//Sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa!//Peradaban apakah yang kita pertahankan?
Harapan pada relevansi kekinian yang seolah kembali, manakala tak lagi benar-benar ada yang dicita-citakan. Hidup mengalir tak jenak.
Dalam kesimpulan Hendrik Yuda Wahyu Alek, dapat digambarkan: sastra merupakan satu produk budaya yang tidak terpisah dalam kehidupan masyarakat. Proses persentuhan dengan nilai masyarakat inilah yang menjadikan sastra tidak hanya sekadar karya yang bersifat imajinatif seorang sastrawan, melainkan cermin perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan. Antara imajinasi dan kenyataan seperti air yang tenang melengkung dari berbagai sisi kelokan dapat meruntuhkan kenyataan atau sebaliknya.
Kebumen, 25 Juni 2021.