Alhamdulillah, saya dan delapan adik saya tercatat pernah mesantren di Madrasatul Quran, tentu, merasa “dekat” dengan Mbah Kiai Yusuf Masyhar. Sekalipun tidak pernah jumpa secara fisik, setidaknya lebih dari satu jam setiap hari mendaras hafalan Al Quran di depan maqbarah beliau. Perjumpaan kami berlangsung dalam dimensi batiniyah yang sunyi.
Saya mondok di Madrasatul Quran pada tahun 1998, selepas SD. Diikuti adik-adik saya di tahun-tahun berikutnya. Sekarang tersisa tiga adik saya di urutan paling bontot. Alhamdulillah, hafalan Al Quran mereka sudah nyaris khatam. Syukur tiada habis, Allah menganugerahkan kesempatan kepada semua putra-putri dari ayah kami sebagai penghafal Al Quran.
Dulu, menghafal Al Quran tidak termotivasi karena kontestasi tahfidh Al Quran yang dikomersialisasi oleh salah satu TV swasta menjelang dan di bulan Ramadan. Ayah kamilah yang keras kepala bahwa semua anak-anaknya harus terlebih dahulu menghafalkan Al Quran sebelum melanjutkan mengaji kitab kuning. Sebuah prinsip yang ia tanamkan di keluarga kami.
Termasuk ketika pesantren ayah kami, membuka program tahfidh pada beberapa tahun yang lalu, semata-mata bukan karena latah agar tampak keren dan bagian strategi marketing pesantren di tengah tren menghafal Al Quran yang terus menanjak dalam dua dekade terakhir. Apalagi, untuk menampung anggaran bansos dari pemerintah. Sama sekali bukan.
Haul Al Magfurlah Mbah Kiai Yusuf Masyhar, guru kami, mengingatkan banyak cerita tentang kesederhanaan dan ketulusan beliau mengajarkan Al Quran dan mencetak ribuan hafidh hingga hari ini melalui Madrasatul Quran yang dibangunnya pada 1971. Semoga Mbah Kiai Yusuf Masyhar berkenan mengakui kami sebagai santrinya. Semoga pula Allah berkenan menjadikan kami, santri-santri beliau, sebagai bagian dari Ahl Al Quran. Amin ya Rabb.
24 Maret 2022
Kiki Musthafa
***
Ramadhan di MQ Tebuireng
Kami biasanya diliburkan dalam melakukan semua aktivitas kepesantrenan dan sekolah sebelum ditetapkan hari dimulainya khataman kitab-kitab tertentu. Sementara santri-santri senior biasanya sudah lebih dahulu mengambil tempat ikut khataman kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim di Pesantren Tebuireng.
Pada Ramadhan, kegiatan di Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ Tebuireng) dimulai dengan sholat taraweh sebanyak 20 rekaat di masjid. Dalam satu rekaat, biasa dibaca satu kaca halaman. Jadi, setiap satu malam taraweh satu juz Al Quran. Genap satu bulan, genap pula 30 juz.
Usai taraweh, santri-santri akan berhamburan menuju kantin, menyantap berbagai panganan dan minuman.
Waktu malam belum cukup larut untuk langsung tidur. Sebagian besar santri mulai menata tempat tidur dan mengambil mushaf untuk mulai mendaraskan Al Quran hingga mata tak lagi menahan kantuk.
Sebelum makan tertata rapi di kantin, dulu, tugas piket santri masih berjalan. Santri yang bertugas akan mengambil satu bakul besar nasi sesuai banyaknya penghuni kamar. Di bulan puasa, makanan tersaji lebih mewah. Kalau biasanya makan lauk seperti ikan, telur, dan daging hanya setiap hari Jum’at saja, maka pada bulan puasa full pakai lauk. Pada pukul 03.00 malam, santri-santri dibangunkan setelah alarm berbunyi. Mereka bergegas mengambil piring masing-masing.
Hari pertama bulan puasa, aktivitas khataman kitab dimulai di setiap ruang kelas dan masjid. Ada yang mengaji Bulughul Maram, Fathul Qarib, Al Jurumiyyah, bahkan Al Ushfuriyah. Pengajian itu dimulai bakda Subuh, bakda Dhuha, bakda Dhuhur, bakda Ashar, dan bakda taraweh.
Demikian berlangsung dengan riang gembira hingga tiba waktu pulang ke rumah, menyambut lebaran, Hari Raya Idul Fitri.