Pertama, seseorang yang sudah mencapai tingkat amaliah tasawuf atau bisa dikatakan sudah “wushul” kepada Allah tidak memerlukan lagi thariqah. Sebagaimana tasawuf adalah mengimplementasikan semua dari unsur-unsur thariqah, syariah, makrifat, dan haqiqat ke dalam satu Al Ahwal wa Al Maqamat (istilah ini lebih gampangnya untuk menyebut kondisi tertentu seseorang dalam satu kesatuan waktu). Perkara Al Ahwal wa Al Maqamat ini adalah mutlak prerogatif Allah Taala wa Subhanah. Jadi, tidak ada perbandingan dan penilaian yang bisa diberikan kepada satu wali dengan wali lainnya. Karena, Al Ahwal wa Al Maqamat itu Allah sendiri yang langsung memberikannya. Maka, tidak perlu ada perbedaan atau perdebatan di sini.
Kedua, dengan adanya pengakuan Mbah Maemun ketika ditanya thariqahnya apa sementara beliau menjawab Al Naqsyabandiyah misalkan, maka jawaban tersebut lebih ditujukan kepada orang yang bertanya itu sendiri. Thariqah apa sebaiknya yang diamalkan oleh si penanya tersebut. Mengingat, pada “maqam” Mbah Maemun sudah tidak selayak ditanya apa Thariqah. Karena, apa yang dinyatakan oleh Mbah Maemun sejatinya adalah perkara-perkara haqiqat.
Di dalam kitab “Sabilus Salikin” misalnya, terdapat sebutan “Syattar”, menurut Syekh Najmuddin Al Kubra, yang berarti tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Padahal, ketiga istilah ini (Syattar, Akhyar, dan Abrar), dalam Thariqah Syattariyah sendiri memiliki kedudukan yang sama dalam satu kesatuan Al Ahwal wa Al Maqamat. Pada satu kesatuan waktu atau “fi anin wahid”, seseorang bisa berada pada satu kondisi Syattar, Akhyar, dan Abrar sekaligus. Sebab, pengertian Syattar dalam Thariqah Syattariyah adalah parasufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga). Hal yang sama dimiliki oleh dua kondisi tersebut.
Demikian pula, pada tingkatan thariqah, syariat, makrifat, dan haqiqat bagi orang awam yang baru mengamalkan suatu thariqah dapat diartikan sebagai hierarki atau jenjang tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang salik (pelaku thariqah), meskipun kenyataannya empat tingkatan tersebut (thariqah, syariat, makrifat, dan haqiqat) bisa dalam bentuk satu kesatuan Al Ahwal wa Al Maqamat. Bukan dalam jenjang tingkatan. Sebab, seorang pengamal thariqah bukan berarti dia tidak bersyariat, bermakrifat, atau berhaqiqat. Tapi, untuk satu kesatuan di dalam Al Ahwal wa Al Maqamat. Dengan kata lain, keempat sebutan tersebut bisa berada dalam satu kesatuan Al Ahwal wa Al Maqamat yang sulit dicari ciri perbedaannya ketika dibaca oleh orang awam. Maka, keempatnya harus didefinisikan secara berbeda.
Foto Mbah Maemun bersama Kiai Fadlolan Musyaffa di Mesir.
Terakhir, satu kisah menarik yang dikemukakan oleh Dr. KH. Fadlolan Musyaffa yang membersamai Mbah Maemun ketika berziarah ke maqbarah/makam Sayyid Syekh Abu Al Hasan Ali Al Syadzili di Mesir.
Dr. KH. Fadlolan sebagaimana dilansir oleh Bangkitmedia.com adalah alumnus Univesitas Al Azhar Kairo Mesir yang selalu menjadi khadam (pelayan) setiap manakala Mbah Maimoen pergi ke Mesir. Ia adalah Sekretaris MUI Jawa Tengah dan pengasuh Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Jawa Tengah.
Dikisahkan, setidaknya dalam hitungan Kiai Fadlolan, ia tiga kali membersamai (khidmah) Mbah Maemun tiap ke Mesir. Dalam ziarah ketiga tahun 2005, kenang Kiai Fadlolan, Mbah Maemun akan diagendakan ziarah ke Luxor dan Aswan, didampingi oleh Ibu Nyai Heni Maryam. Tiba di Airport Cairo. Saat di “boarding pass” Mbah Maemun tiba-tiba membisikkan Kiai Fadlolan, “Mas Fadlolan, nanti kita ziarah ke Imam Syadzili, ya?” Permintaan yang sulit untuk dijawab oleh Kiai Fadlolan. Hatinya berkata; tidak mungkin, pertama, karena tiket pesawat sudah terbeli PP Cairo-Luxor-Cairo, berangkat pukul 07.00 kembali pukul 20.00. Kalaupun ziarah ke makam Imam Al Syadzili, mesti nginap, karena perjalanan tidak cukup pergi-pulang dalam sehari semalam. Jarak tempuh Cairo-Luxor kurang lebih 900 kilometer dengan pesawat terbang, ditambah jarak tempuh darat Luxor-Humaisarah, perkampungan Imam Syadzili kurang lebih 400 kilometer.
Kedua, jarak tempuh Luxor-Humaisarah adalah jalan sepi yang tidak begitu baik aspalnya, karena bukan jalur wisata. Dan, yang lebih parah, jalur itu tidak ada fasilitas kehidupan seperti listrik, air, sinyal telpon, pom bensin, toilet, warung, dan lain-lain. Tidak ada sama sekali, tulis Kiai Fadlolan. (Bersambung).