“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagi kamu. Tetapi, boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal tidak baik bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (2 : 216).
Ayat ini dilatarbelakangi oleh perintah kewajiban berperang kepada kaum muslimin saat itu. Beragam respon yang didapat. Ada yang menerima, ragu ragu, maupun yang menolak. Semua bergantung pada satu, kadar keimanan mereka saat itu.
Menariknya adalah, lanjutan ayat itu yang sering banyak dikutip oleh kita. Bahwa, segala sesuatu tidak layak untuk dicintai secara total, all in, wes pokoknya secinta-cintanya. Sebaliknya, sesuatu apapun, jangan terlalu dibenci, hingga jadi haters, atau kebablasan bencinya. Quran memperingatkan manusia, bahwa kelak, jika ini tidak diperhatikan, Allah akan menunjukkan bahwa anggapan kebanyakan manusia, itu “salah”.
Menganggap bahwa kekayaan adalah sumber kebahagiaan misalnya. Atau juga, menganggap bahwa jika sesuatu telah tercapai, maka tujuan hidupnya sudah dianggap sukses. Sebuah “standar hidup” yang kadang dipaksakan atau juga sering diperdebatkan setiap waktu. Tidak heran, jika sampai kapanpun, konsep kebenaran akan selalu berada di wilayah yang “abu-abu”.
___
Kehidupan akan selalu dipenuhi dengan sebuah simbol simbol yang bermakna ambigu. Kiai yang dipandang sebagai orang suci misalnya, bisa saja tergelincir karena sebuah perbuatan yang kemudian menghinakannya. Sebaliknya, seorang wanita tuna susila yang dipandang sebelah mata oleh manusia, ternyata bisa diangkat derajatnya oleh Allah, hanya karena memberi minum seekor anjing. Betapa simbol simbol tadi, masih perlu banyak dimaknai dengan tepat dan seobjektif mungkin.
Sebagai penutup, sebuah pesan dari kitab Al Hikam yang legendaris itu berkata: “Terkadang Dia membukakan untukmu pintu taat (pengabulan permintaan), tapi Dia tidak memberimu pintu penerimaan.
Dan terkadang Dia menetapkan dosa atasmu (penolakan), namun kemudian hal itu menjadi sebab sampainya dirimu kepadanya.”
Sesuatu yang kita terima dan sukai tidak selalu adalah hasil atau simbol dari keridloanNya. Dan segala sesuatu atau hasil yang tidak kita sukai, bisa jadi, adalah sebuah bukti kasih sayangNya, agar kita mau lebih dekat kepadaNya.
Terakhir, bukti bahwa Allah ridlo dengan manusia adalah, manusia tersebut lebih banyak disibukkan dengan kebaikan, hingga tidak sempat meminta untuk dirinya sendiri. Hingga konsep khoirun naas anfa’uhum linnaas, menjadi nyata adanya.
Inilah sebuah gambaran kecil dari sebuah ambiguitas hidup yang perlu kita sadari bersama.
Wallahu a’lam.