Manusia sering lupa dan lalai kalau dunia ini hanya persinggahan. Padahal, pada persinggahan ini, manusia akan ditarik kembali untuk melanjutkan perjalanan. Entah masih di dunia (asra bi ‘abdihi), entah keruhaniannya (mi’raj). Ulasan buku H Abdul Rahim Al Fadhil ini sekiranya dapat menjadi pembuka jalan bagi seorang muslim untuk mengenal hakikat diri sebelum akhirnya mengenal Tuhannya. Sebuah petunjuk awal dan berkelanjutan dalam proses yang panjang. Hatta ya’tiyat al yaqin.
Tentang Ulasan Buku
Ulasan buku H Abdul Rahim Al Fadhil yang berjudul Hijrah di Usia Emas ini telah mendapat apresiasi baik dan perlu mendapat perhatian lebih mendalam sebagai dasar atau fondasi bagi kehidupan seorang muslim, terutama kalangan yang sudah menjalani masa purnatugas. Kalangan yang diistilahkan olehnya sebagai “Usia Emas”.
Dengan pendekatan tasawuf ala Imam Al Ghazali, H Abdul Rahim Al Fadhil menulis tentang pokok pokok pikirannya ke dalam bentuk ajakan. Tentu, dari pengalaman pribadinya selama berkarir di militer.
Ajakan pertama secara garis besar adalah dengan mengenal diri. Kedua, mengenal sifat dan nama nama Allah. Ketiga, beriman dan beramal. Keempat, masyarakat mukmin dan pemerintahan yang diridhai Allah SWT. Keempat poin penting tersebut dijelaskan ke dalam 11 tulisan yang mendasar.
Pesan yang hendak disampaikan oleh H Abdul Rahim Al Fadhil dalam buku ini adalah tentang keutamaan akal dalam menilai dan mengambil pertimbangan realitas (condition on going). Ia mengutip Imam Al Ghazali; “… Imam al-Ghazali mengatakan bahwa diri manusia layaknya sebuah kerajaan yang terbagi dalam empat struktur pokok, ruh atau jiwa sebagai raja, akal sebagai perdana menteri, nafsu atau syahwat sebagai para ekonom atau pengumpul pajak, dan nafsu atau amarah sebagai polisi….” (Halaman 17).
Puncaknya, dari asumsi yang dibangun sejak awal tulisan di buku ini adalah harapan. H Abdul Rahim Al Fadhil berharap akan terbentuk dan tercita-citakan sebuah negara (pemerintah dan masyarakat) yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negara yang sering diistilahkan secara umum sebagai negara adil dan makmur. (Halaman 117). Negara demikian, menurut H Abdul Rahim Al Fadhil, adalah negara yang diridhai oleh Allah SWT.
Dialog Santri
Layaknya dialog santri, bertemu dengan H Abdul Rahim Al Fadhil seolah menemukan pengembaraan seorang salik, meskipun ia menolak dengan berkata, “Saya tidak berthariqah” (Adapun pembahasan berthariqah dan tidaknya seseorang sudah saya bahas dalam beberapa tulisan).
Berawal dari keinginannya untuk mencari ilmu kanuragan seperti kekebalan dan lain lain, H. Abdul Rahim Al Fadhil meniatkan dirinya pergi ke Pare, Jawa Timur. Tentu, setelah ia meminta restu kedua orang tuanya di Kutacane, Aceh Tenggara. Dialog menarik diungkapkan dalam narasi yang panjang; dimulai dari ayahnya, bertemu orang di kampung halamannya di Semowo (kedua orang tua H Abdul Rahim Al FAdhil asli Semowo, Kabupaten Semarang), dan di Pare, Kediri. Di Pare, ia tidak diberi ilmu ilmu kenuragan sebagaimana ia harapkan, melainkan satu amalan bacaan Al Fatihah. Ada kekecewaan, tapi itulah kenyataan.
Namun, dari bacaan Al Fatihah itu, H Abdul Rahim Al Fadhil mendapat pengetahuan pengetahuan dan pengelaman pengalaman yang tidak terduga hingga ia menapaki jejak karir dan purna tugas di militer dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal. Ia banyak menuangkan gagasannya ke dalam bentuk tulisan dan mendapat beberapa penghargaan. Tentu, karir cemerlang ini ia tempuh dengan upaya sendiri dan kerja keras, karena ayahnya hanya seorang tentara yang tidak tinggi pangkatnya ketika bertugas di Kutacane.
Menarik! Dialog santri ini dapat menjadi pengantar bagi ulasan buku H Abdul Rahim Al Fadhil yang kaya makna. Demikian, yang dikehendaki olehnya, kalau mengenal agama atau bacaan tidak berhenti pada level makna letterleijke saja, melainkan terejawantah ke dalam kehidupan sehari hari. Makna thariqah (jalan, atau berjalan) yang sebenarnya telah ia lakoni selama hayatnya di dunia. Semoga bermanfaat!