Musirawas pada masa itu dikenal dengan sebutan Musi Ulu Rawas. Kabupaten Musirawas secara administratif memiliki sejarah sejak Belanda mulai masuk ke Lubuklinggau. Meskipun legenda dimulai dari cerita Bujang Kurap dan Puteri Silampari di Bukit Sulap, mamun tidak ditemukan data otentik secara historiografi untuk dikatakan sejarah. Cerita dari mulut ke mulut itu sering dihubung-hubungkan dengan sejarah Kerajaan Palembang. Walaupun sekali lagi dari aspek kesukuan lebih dekat kepada suku-bangsa Rejang. Dari data Belanda disebutkan kalau masyarakat Musirawas merupakan subsuku Proatin dari suku-bangsa Rejanglebong. Tidak ada orientasi untuk sejarah etnik, Musirawas dan terutama Lubuklinggau, kemudian membangun legenda sendiri dan bermula dari administrasi Belanda.
Pentingnya Literasi
Literasi musti digalakkan untuk menjadikan Musirawas memiliki ciri dan karakter baru. Sebab, sejarah tidak bisa dibangun dari orientasi administrasi. Sejarah memerlukan materi-materi yang terperinci.
Untuk membangun sebuah peradaban dalam arti maju di bidang ilmu pengetahuan, teknologi arsitektur, dan susastra diperlukan satu genetika khusus dari aspek etnologi. Memang, Musirawas tidak seheterogen kota-kota metropolitan, tapi penulisan berdasarkan etnologi harus detil. Untuk data-data detil tersebut, maka perlu digalakkan literasi. Dari data-data detil tersebut, maka dapat dibentuk orientasi baru tentang sebuah sejarah yang baru. Dengan demikian, sejarah berbeda dengan historiografi yang membongkar cerita-cerita masa lalu untuk dihadirkan dalam sebuah konstruksi narasi, tapi sejarah membutuhkan cerita hidup yang berkelanjutan sehingga dapat diketahui titik tolaknya.
Penguatan literasi di Musirawas diperlukan dari cerita-cerita hidup sehari-hari. Akan lebih baik jika didukung oleh susastra (drama, puisi, dan prosa). Dari fungsi susastra ini, budaya atau peradaban akan memiliki fondasinya.
Kampung Darurat Cinta
Masuknya suratkabar ke Kota Lubuklinggau hingga saat ini memang telah memberi warna dan cara berpikir. Ditambah, saat ini, dibuka dengan kemudahan digital. Sehingga informasi dan budaya lintas daerah, bahkan lintas negara dapat dijangkau dengan mudah.
Namun seberapa besar kemudahan teknologi tersebut mampu merubah gaya dan pola hidup menjadi lebih dinamis dan maju secara intelektual. Jangan hanya karena mengikuti tren birokrasi dan administrasi kemudian budaya menjadi abai dan tidak mampu berdialog dengan budaya-budaya luar.
Mari mulai kembangkan literasi untuk menjadi daerah yang berbudaya. Ingat, sejarah bukan masa lalu atau siapa yang lebih berhak pertama mendiami daerah. Suku-bangsa Yahudi bisa kehilangan Tanah Kanaan karena mereka tidak memiliki sejarah dalam pengertian tulisan ini.