Di zaman sekarang, banyak sekali ditemukan orang yang gampang mengatakan sesat dan kafir di kanal-kanal YouTube. Sehingga cukup meresahkan, membuat ragu mayoritas umat Islam, dan emosi tak terkontrol. Bahkan, Syariat Islam sering pula diserukan secara tekstual, karena tidak sesuai selera tafsir-tafsir mereka. Misal, negara harus berideologikan Islam yang sesuai dan serupa di zaman Rasulullah saw. Padahal, tidak ada satupun bentuk negara setelah masa Rasulullah saw yang betul-betul serupa. Apalagi setelah 1443 tahun berlalu.
Dengan kata lain, masa ideal di zaman Rasulullah saw hanya bisa diambil substansinya, tanpa harus meniru gaya dan bentuknya. Karena, gaya dan bentuk bisa berubah setiap zaman.
Pada setiap zaman, Abu Jahal dan Abu Lahab akan terus bersalin rupa.
Ada Dua Pandangan
Islam dapat dipahami dari dua aspek, kontekstual (ekstrinsik, ظاهر) dan tekstual (intrinsik, باطن).
Secara tekstual, penerapan Syariat (Hukum) Islam harus sesuai dengan “yang dikatakan” oleh sumber hukum (Al Quran dan Hadis). Misal, hukum rajam bagi pelaku zina muhson dan potong tangan bagi pencuri. Namun, secara kontekstual, hukum rajam dan potong tangan tersebut bisa diganti dengan “bentuk” hukuman lain sesuai kondisi dan tempat asalkan tetap terjaga substansi hukumnya. Imam Al Ghazali (wafat 1111 Masehi) dan Imam Al Syatibi (wafat 1388 Masehi) menentukan substansi hukum tersebut bisa dicapai dengan cara melihat tujuan hukum atau diturunkannya Syariat Islam yang terangkum ke dalam lima tujuan (مقاصد الشريعة).
Dari sudut pandang susastra, makna-makna adalah yang menghidupkan dan melahirkan konteks. Dari makna-makna yang tergali dari konteks tersebut, tujuan-tujuan syariat dapat diambil dan disesuaikan dengan teks. Sebagaimana maksud-maksud Syariat Islam diturunkan dalam lima tujuan untuk melindungi hak-hak dasar manusia secara umum meliputi hak perlindungan beragama, hak perlindungan jiwa, hak perlindungan akal (intelektual), hak perlindungan memiliki harta, dan hak perlindungan terhadap keturunan. Hak-hak tersebut merupakan esensi kemanusiaan yang ditemukan di dasar bersusastra, kemudian ditarik ke ranah filosofi Syariat (Hukum) Islam.
Dengan demikian, hukum (Syariat) Islam terus berkembang karena didukung oleh susastra yang dinamis.
Tauhid Itu Membersamai Allah
Ilmu dasar Tauhid di dunia dipelopori beberapa aliran diantaranya Syiah, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Muktazilah, Ahlussunah wal Jama’ah, dan Khawarij. Masing-masing memiliki pandangan kurang moderat kecuali Ahlussunah wal Jama’ah yang memiliki pengikut terbesar (Al Sawad Al A’dham) atau mayoritas. Bahkan, Khawarij adalah aliran atau sekte Tauhid yang mengarah kepada ekstrimisme. Khawarij melahirkan banyak kelompok kekerasan di dunia seperti Wahabi-Salafi, ISIS, Al Qaeda, dan lain-lain yang sering mempropagandakan isu-isu tauhid, syariat Islam, bid’ah, khilafah, sesat, dan pangafiran (takfiri).
Bagi Ahlussunah wal Jama’ah, tujuan ilmu Tauhid adalah membebaskan manusia dari pandangan-pandangan terhadap Allah Taala dari atribut-atribut yang mengarah kepada kesyirikan. Allah Taala adalah esensi yang berdiri sendiri dengan kuasaNya. Dengan kuasaNya, ia menentukan eksistensinya dalam segala bentuk makhlukNya, termasuk alam semesta.
Namun sayang, dalam moderasi bersusastra masih sering merindukan sosok-sosok simbol. Tuhan yang disimbolkan. Nabi yang disimbolkan. Agama yang disimbolkan. Sehingga muncul ketakutan kalau Tuhan, Nabi, dan agama itu tidak bisa disimbolkan.
Sebagai kitab susastra terbesar, Al Quran is the big data. Kemukjizatannya ada pada akurasi data meskipun disampaikan dengan bahasa-bahasa simbolik. Kalau diperbandingkan antara Al Quran dan susastra, susastra sudah berkembang jauh sejak Nabi Adam. Bagaimana mengenal kisah Nabi Adam dan putera-puteranya kalau tidak melalui susastra.
Nah, hebatnya Nabi Muhammad di situ. Jika tidak karena Wahyu, bagaimana mungkin mengumpulkan data dan informasi yang begitu lengkap ke dalam Al Quran? Maka, tidak heran, jika kemudian Al Quran juga disebut الكتاب اى الذي يكتبه, karena akurasinya yang kompilatif. Akurasi itu meliputi data di dunia. Seperti server. Berapa ratus tahun orang Amerika baru bisa membuat server besar sementara Nabi Muhammad hanya membutuhkan waktu 23 tahun. Padahal, zaman dahulu belum ada satelit. Jika memang Nabi Muhammad meringkas semua Al Kitab, juga berapa lama waktu dan jarak tempuh untuk mencari data yang dihabiskan?
Di zaman nabi-nabi, orang mencari Tuhan dari hati mereka masing-masing kemudian melahirkan susastra. Di zaman setelah Revolusi Industri di Eropa, orang mencari Tuhan di dalam susastra. Karena sering gagal menemukan Tuhan, tidak jarang di antara mereka menjadi atheis.
Tapi, susastra hanya bersifat informatif, tidak memaksa. Sifat susastra adalah memberi alternatif, asertif, dan segresif dari pemaknaan-pemaknaan normatif. Karena bersifat demikian, susastra merupakan keintiman. Seorang yang menempuh jalan sufi karena ia membangun keintiman dengan Allah Taala.