Mangsa
Dalam pengetahuan modern, soltis atau titik balik matahari di sisi Utara Khatulistiwa dipahami terjadi pada setiap tanggal 21 Juni. Di waktu itulah matahari mencapai titik puncak posisi paling Utara untuk kemudian kembali ke sisi Selatan Khatulistiwa. Fenomena ini ditengarai terjadi sebab gerak semu matahari akibat kemiringan poros bumi.
Dalam pengetahuan leluhur Nusantara, fenomena ini pun dipahami. Kelekatan relasi mereka dengan alam membuat leluhur Nusantara menyadari peristiwa soltis ini. Bahkan, mereka memahami bahwa fenomena itu berpengaruh dan terkait erat dengan banyak peristiwa yang terjadi di bumi bahkan semesta, baik terkait cuaca, perilaku hewan, maupun tumbuhan.
Berdasarkan pengetahuan mereka akan fenomena soltis inilah leluhur Nusantara merumuskan apa yang dikenal dengan istilah—dalam bahasa Sunda atau Jawa—”mangsa”. Mereka membagi satu tahun ke dalam 12 mangsa berbasis siklus gerak semu matahari itu, dimulai dengan mangsa kasa atau mangsa kesatu dan diakhiri dengan mangsa kasadha [sadha] atau kedua belas.
Kalender mangsa ini berbeda dengan kalender kalasurya maupun kalacandra yang juga digunakan oleh leluhur Nusantara. Jumlah hari dalam kalender mangsa sangat variatif. Berbeda dengan kalender kalasurya dan kalacandra yang memiliki interval perbedaan hari di setiap bulannya berkisar antara 1-3 hari, kalender mangsa ini memiliki interval perbedaan hari yang dapat mencapai 20 hari, di mana tanggal 1 bulan pertamanya jatuh pada setiap tanggal 22 Juni yang menjadi hari pertama gerak balik matahari setelah mencapai titik puncaknya di sisi utara.
Dalam pengetahuan tradisional leluhur Nusantara, sistem kalender mangsa ini, selain menggunakan siklus matahari sebagai penanda alamnya, juga dapat menggunakan siklus dua rasi bintang di langit sebagai komparasinya. Kedua rasi tersebut yaitu rasi bintang Pleides yang dikenal dengan istilah kerti di Sunda atau kartika di Jawa, serta rasi bintang Orion yang dikenal dengan istilah kidang di Sunda dan Wluku di Jawa.
Dengan memahami pergerakan matahari, planet, dan bintang-bintang serta pengaruhnya terhadap pengisi Bumi tersebutlah para leluhur Nusantara merumuskan waktu tanam dan panen serta seperangkat hal-hal lain yang menjadi pengiringnya. Ilmu pengetahuan akan hal ini, di wilayah Borobudur, misalnya, tersimpan dalam kesenian “gatoloco” yang masih lestari hingga hari ini. Kelekatan relasi leluhur Nusantara dengan alam seperti itu mengantarkan mereka pada perilaku yang harmoni dengan alam semesta ini, sesuai pemahaman mereka akan tugas manusia di muka Bumi ini, yakni hamemayu hayuning bawana.
Pun
Sapun
Paralun
Lembah Sileng Purba, medio mangsa kasadha 2022