Kelahiran
KH. Husein Muhammad atau yang kerap disapa dengan panggilan Buya Husein lahir pada tanggal 9 Mei 1953, di Cirebon. Beliau merupakan putra kedua dari delapan bersaudara, dari pasangan KH. Muhammad bin Asyrofuddin dan Nyai Hj. Ummu Salma Syathori.
Ayahanda beliau, KH. Muhammad adalah putra H. Asyrofuddin dan Zainab, menurut keterangan bahwa Asyrofuddin adalah seorang keturunan Gujarat India yang hijrah ke Semarang.
Adapaun saudara-saudara Buya Husein diantaranya:
Hasan Thuba Muhammad, pengasuh PP. Raudlah at Thalibin Tanggir Jawa Timur.
Dr. Ahsin Sakho Muhammad, pengasuh Pesantren Dar al Qur`an Kebon baru Arjawinangun Cirebon.
Hj. Ubaidah Muhammad, pengasuh Pesantren Lasem Jawa Tengah.
Mahsun Muhammad M.A, pengasuh Pesantren Dar al Tauhid Cirebon.
Hj. Azzah Nur Laila, pengasuh pesantren HMQ Lirboyo Kediri.
Salman Muhammad, pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang Jawa Timur.
Hj. Faiqoh, pengasuh pesantren Langitan Tuban Jawa Timur.
Keluarga
Husein Muhammad melepas masa lajangnya dengan menikahi Nyai. Hj. Lilik Nihayah Fuadi. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai 5 orang putra-putri. Anak-anak beliau diantaranya Hilya Auliya lahir 1991, Layali Hilwa lahir 1992, Muhammad Fayyaz Mumtaz lahir 1994, Najla Hammaddah lahir 2002 dan Fazla Muhammad lahir 2003.
Pendidikan
Husein Muhammad memulai pendidikannya dengan belajar di SD-SMP di Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon. Setelah selesai, beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar di SMA Aliyah di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Kemudian, beliau kembali melanjutkan studi (S1) di Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta, Ciputat, tahun 1973-1980.
Di tahun 1980-1983, Buya Husein kembali melanjutkan studinya di Kajian Khusus Arab di Al-Azhar Kairo, Mesir. Di tempat ini, beliau mengaji secara individual pada sejumlah ulama Al-Azhar.
Menjadi Pengasuh Pesantren
Setelah selesai belajar di al-Azhar Kairo, pada tahun 1983, Buya Husein kembali ke Indonesia, beliau melanjutkan estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Dar at-Tauhid Arjawinangun yang didirikan oleh kakeknya, KH. Syatori (tahun 1933).
Sosok Kiai Feminis
Husein Muhammad adalah salah satu dari sedikit ulama laki-laki yang banyak mencetuskan pemikiran-pemikiran kritis berbasis teks agama dan kitab-kitab kuning sebagai upayanya membela hak-hak perempuan dan membedah pemapanan relasi timpang.Tokoh-tokoh feminis lain yang sepemikiran di antaranya: Lies Marcoes, Wardah Hafidz, Masdar F Mas’udi, Margot Badran, Asma Barlas, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Lois Lamya al-Faruqi.
Di antara para feminis yang bergelut di dunia muslim, terdapat pertentangan antara pihak yang menyatakan bahwa teks kitab al-Qur’an sendiri merupakan akar masalah dari ketimpangan gender, dengan pihak yang menyatakan bahwa teks dalam kitab suci umat Islam tersebut merupakan teks yang sesungguhnya membebaskan perempuan.
M Nuruzzaman dalam bukunya Kiai Husein Membela Perempuan (2005), memaparkan dengan jelas hasil analisisnya terhadap apa yang diperjuangkan KH Husein Muhammad. Tidak ada sama sekali pemikiran-pemikiran KH Husein Muhammad yang bisa dipandang berasal dari sesuatu yang “asing” atau eksternal Islam, sebagaimana yang sering dituduhkan pada pemikiran feminisme Islam.
KH Husein Muhammad adalah pengusung yang konsisten dengan prinsip-prinsip dasar Islam, yaitu keadilan (‘adalah), musyawarah (syûrȃ), persamaan (musȃwah), menghargai kemajemukan (ta’addudiyah), toleran terhadap perbedaan (tasȃmuh), dan perdamaian (ishlȃh).
Selama ini tampaknya, seperti yang diamati oleh Nuruzzaman, aktivis gerakan feminis terlalu didominasi oleh mereka yang berlatar belakang sekular. Maka latar belakang KH Husein Muhammad yang berasal dari kalangan pesantren, membuat signifikansi perjuangannya menjadi kuat.
Tentu saja, pandangan-pandangan KH. Husein Muhammad yang dituangkan dalam karya terkenalnya Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Keagamaan dan Gender, mengundang protes dari kalangan yang merasa keberatan dengan isinya. Tapi hingga kini, mereka yang merasa keberatan itu, belum ada yang sanggup menulis bantahan atas karya-karyanya (yang memang sulit dibantah).
Mendirikan Lembaga Kemanusiaan
Buya Husein yang kerap menyuarakan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, Ia mendirikan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk isu-isu Hak-hak Perempuan, antara lain Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat (2001). Hingga akhirnya mengatarkan beliau menjadi Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada tahun 2007.
Selain itu, Buya juga lantang bersuara tentang pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia, membuat Ia bersama KH. Marzuki Wahid, KH. Faqihuddin Abdul Kodir, KH Afandi Mochtar mendirikan Perguruan Tinggi Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) di Cirebon (2008).
Karya Karya
Ada sekitar 10 lebih karya yang telah ditulis oleh Buya Husein. Salah satu bukunya yang banyak digunakan sebagai referensi aktivis perempuan adalah “Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender”. Karyanya yang lain adalah “Islam Agama Ramah Perempuan”, “Ijtihad Kiyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender”, “Dawrah Fiqh Perempuan“ (modul pelatihan), “Fiqh Seksualitas”, “Fiqh HIV/AIDS”, “Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerahan”,”Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”, “Menyusuri Jalan Cahaya”, dan lain-lain.
Penghargaan
Buya Husein yang aktif dalam berbagai kegiatan diskusi, Halaqah, dan seminar keislaman, khususnya terkait dengan isu-isu Perempuan dan Pluralisme, baik di dalam maupun di luar negeri menerima berbagai penghargaan.
Diantaranya, ia menerima penghargaan Bupati Kabupaten Cirebon sebagai Tokoh Penggerak, Pembina dan Pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan (2003), penerima Award (penghargaan) dari Pemerintah AS untuk “Heroes To End Modrn-Day Slavery”, tahun 2006.
Dan selama tujuh tahun sejak 2010 namanya tercatat dalam “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center.