Mengikuti jejak seseorang di dalam berkarya tidak menyalahi aturan hidup berkesenian, karena pada akhirnya akan menemukan sendiri jalannya. Demikian, Pak Yudi yang dikenal. Obsesinya ingin meneruskan tradisi Raden Saleh. Sang Maestro yang telah dikenal luas sebagai anak zaman. Memiliki dedikasi untuk bangsa dan agamanya, meskipun sebuah karya tidak memerlukan identitas itu.
Dulu, ia kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), sekarang ISI Jogja. Dunia seni rupa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya, meskipun Pak Yudi sempat meninggalkan kanvas untuk beberapa waktu yang lama, karena mengambil pekerjaan-pekerjaan lain yang berbeda. Ia pernah menjadi mandor pabrik rotan di Samarinda, Kalimantan Selatan. Melanglang buana ke Arab Saudi menjadi pekerja serabutan. Pada awalnya, menggeluti kesenian bukan suatu keinginan yang meyakinkan. Lahir dari ketidakpastian dan kenihilan. Hingga sekarang, dunia ekspresi ini belum benar-benar memiliki tempatnya. Kebebasan belum mampu menjawab realitas, meskipun realitas terbentuk dari kebebasan.
Hal ini dapat tergambar dari sejarah perjalanan Institut Seni Indonesia (ISI) dari zaman ke zaman. Pada awalnya, merupakan pendidikan jalanan bagi pekerja-pekerja seni kreatif yang menuangkan ekspresi mereka. Mereka hanya sekumpulan orang yang menginginkan kebebasan bagi bangsa yang sedang tertindas kolonialisme. Pengaruh pandangan “Indie Mooi” atau “India Molek” terhadap bangsa timur sebagai bangsa jajahan telah membangkitkan sentimen untuk menjadi manusia yang bermartabat dan berbudaya. Upaya budaya tersebut sudah dimulai sejak Ki Hajar Dewantara mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa. Pendidikan tidak difungsikan hanya sebagai lembaga pemintaran belaka, melainkan juga menjadi manusia yang berbudaya. Dengan kata lain, polemik budaya tidak begitu signifikan manakala pembangunan kreativitas tidak pernah terwujud ke dalam bentuk partisipasi bangsa yang mampu menyerap ide-ide luar dan liar menjadi energi dan lokomotif budaya.
Pergulatan itu kemudian merambah ke dalam identitas antara yang asing dan yang esensi. Jiwa itu tak dapat disembunyikan meskipun pada akhirnya tetap merupakan misteri. Hasil sebuah karya tak dapat menghilangkan identitasnya. Demikian, R Soedjojono (1913-1985) menerjemahkan kreativitas yang tak bisa ditipu. Untuk menemukan jiwa itu, Pak Yudi harus menyelami jiwa leluhur yang menjadi obyeknya. Satu persatu, ia mengenali guratan-guratan wajah raja-raja Jogja yang dilukis olehnya. Dia hapal satu persatu garis-garis detil wajah raja-raja itu, mulai dari Hamengkubuwono I sampai yang terakahir, Hamengkubuwono X. Baginya, raja-raja itu memiliki darah Ayip (atau Yek, sebutan singkat Sayyid berdarah Arab). Darah ulama yang mengalir ke dalam trah keturunan. Sebagaimana ulama adalah pewaris para nabi. Kendati kesan yang ada kemudian adalah Islamisasi, namun kenyataan demikian tampak pada sosok yang dikaguminya, Raden Saleh. Sosok berdarah “Arab” yang peduli. Menghilangkan identitas demi rasa kebangsaan. Ia memasuki relung-relung jiwa bangsawan melalui hewan-hewan ganas dan liar (harimau, banteng, dan sebagainya) yang terluka.
Kini, bukan lagi obsesi yang diterimanya sebagai garis takdir, melukis bagi Pak Yudi merupakan ekspresi banteng-banteng yang terluka. Setiap seniman memiliki “jiwa ketok”, sign, yang mengidentik. Sign itu seperti tali rafia yang tak gampang lapuk, plastis, dan mengikat.