Sebelum melakukan pemetaan masalah dan materi yang akan diangkat menjadi tema menarik dan penting adalah mengumpulkan data awal.
Pada pengumpulan data-data awal ini memang terkesan semrawut dan serabutan. Menulis segala yang bisa dijumpai, baik dari bahan-bahan bacaan referensial maupun pengalaman-pengalaman perjalanan. Nah, pengalaman perjalanan ini sedikit berat, meskipun membaca buku-buku referensi juga tidak kalah beratnya. Sebab, membutuhkan bekal perjalanan yang panjang, energi, kemampuan, kesehatan, dan tempaan mental spiritual lainnya.
Tidak ada niatan untuk mengabaikan buku-buku referensi yang sudah tertulis atau ditulis oleh para peneliti pendahulu sehingga hanya memerlukan sebuah rekonstruksi sistematis dari hasil bacaan tersebut. Namun, pengalaman perjalanan (travelling) merupakan momen yang berbeda dan memiliki nuansa yang dapat menjadi acuan di era kekinian. Di samping, coba mencari sudut lain dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Sebab, sebuah obyek dapat dilihat dari sudut dan dimensi yang berbeda, serta hasil yang juga berbeda.
Memang, tidak semua orang mau menjalani dan melakukan hal ini. Hanya satu atau dua orang saja. Kebanyakan masih banyak para penulis yang mengandalkan hasil-hasil referensi yang sudah diteliti. Mereka masih beranggapan, sebuah tulisan yang berbobot ilmiah bila merujuk kepada buku-buku tertentu. Padahal, pengalaman lapangan yang melibatkan emosi juga tidak kalah penting sebagai referensi faktual dalam memperkaya khazanah intelektual, budaya, sejarah, susastra, seni, filsafat, maupun dunia pendidikan. Tulisan-tulisan tentang pesantren misalnya masih merujuk kepada hasil-hasil tulisan dari Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), Prof. Dr. M. Nurcholish Madjid, K.H. Saifuddin Zuhri, Zamaksyari Dhofier, Dawam Rahardjo, Abdul Mun’im DZ; beberapa penulis sejarah NU seperti Andree Feillard, Martin van Bruinessen, Prof Emeritus Mitsuo Nakamura, Greg Barton, dan tidak banyak. Masih sedikit kalangan santri sendiri yang memiliki kepedulian dan kesadaran sejarah terhadap khazanah yang mereka miliki. Kebanyakan, kelemahan memahami “metdoe ilmiah” menjadi kendala sehingga kesadaran tersebut belum benar-benar muncul. Di samping, pengorbanan materi dan immateri apabila tidak mendapat dukungan finansial di dalam melakukan penelitian dan penulisan.
Padahal, apabila ditulis tidak memerlukan biaya yang besar, karena obyek penelitian tidak jauh dari kehidupan mereka. Mereka bisa menulis segala hal tentang kehidupan kiai-kiai, santri-santri alumni, maupun kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat bagi sejarah kepesantrenan. Dalam hal tema Khittah NU 1926 misalnya, belum ada catatan-catatan dan rekaman yang cukup komprehensif sehingga menghasilkan berbagai sudut pandang dan perspektif. Terlepas dari “konflik internal”, tokoh-tokoh penting yang terlibat langsung dalam perumusan Kittah NU 1926 tersebut sebagaimana Gus Mus (K.H. Mustofa Bisri), K.H. Salahuddin Wahid (almarhum), dan tokoh-tokoh lainnya perlu dieksplorasi sudut pandang mereka. Terlepas dari benar dan salah tentang tafsir Khittah NU 1926 tersebut. Soal benar dan salah, biarlah sejarah yang berbicara, meminjam istilah Gus Dur.
Catatan opini sebagai sumber referensi sekunder dapat membuka cakrawala berbeda dari sudut pandang berbeda pula dan menjadi salah satu materi tambahan dalam penulisan dan pengumpulan data berikutnya.