Pertama, jika rerata lulusan tafsir hadis dari perguruan-perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia bekerja dengan baik, maka tidak akan ada kesalahan dalam menafsirkan (misinterpreted) ayat-ayat suci Al-Quran Al-Karim.
Kejadian salah tafsir tidak saja terjadi dalam pada akhir tahun 2016 yang lalu, ketika ayat suci Al-Quran ditarik ke tengah-tengah kepentingan politik praktis. Padahal, salah satu syarat menjadi mufassir adalah bebas dari hawa nafsu. Bahkan, seorang hakim yang sedang marah, tidak dianjurkan untuk memutuskan suatu perkara. Karena, khawatir keputusan itu terbawa oleh nafsu.
Kedua, bagaimanakah jika penafsiran “hawa nafsu” sebagai syarat seorang mufassir tersebut diartikan dengan ideologi peyoratif? Ideologi yang menyimpang? Bukankah nafsu itu ada yang lurus dan ada yang menyimpang? Bagaimana pula jika nafsu yang lurus atau baik itu diartikan sebagai sikap objektif, sementara yang buruk itu diartikan sebagai sikap subjektif? Kesalahan-kesalahan tafsir memang cenderung tidak objektif di dalam menilai atau memberi makna. Meskipun penafsiran tetap saja subjektif dalam koridor yang “objektif”, karena terikat dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu, seorang mufassir dituntut segera untuk memberi penilaian-penilaian dan keputusan-keputusan di dalam memilih makna.
Pendekatan tafsir yang paling tradisional adalah riwayah dan dirayah, mencari makna-makna terdekat dari ruang dan waktu ketika sebuah ayat diturunkan. Ditarik benang-benang kronologis yang bisa dibenarkan secara filologis. Meskipun korelasinya tidak begitu populer secara umum, baik karena faktor lingkungan patriakhis atau sebab lain, seperti penafsiran tentang sebuah riwayat membolehkan seorang perempuan menjadi imam.
Ada beberapa pandangan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir seperti dari Muhammad Muhammad Ibrahim dalam kitabnya Rawa-i’ al-Bayan fi ‘Ulum al-Qur’an, Syihabuddin Mahmud al-Alusiy, Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab Tafsir al-Mufassirun, dan Abu Thalib al-Thabari. Namun, secara umum dapat disimpulkan dan disepakati adalah Aqidah yang benar, bersih dari hawa nafsu,niat baik dan tujuan yang benar, taat dan mengamalkan ilmunya, berpegang teguh pada sunnah, dan mengerahkan tenaga untuk belajar atau membekali diri dengan ilmu. Syarat-syarat demikian disebut sebagai syarat dan prasyarat kualifikasi diri (mental pribadi).
Namun, di samping itu, terdapat pula syarat dan prasyarat kualifikasi ilmu sebagaimana pengetahuan tentang penguasaan bahasa Arab dilontarkan oleh semua ulama. Penguasaan ‘Ulum al-Qur’an dan ‘Ulum al-Hadis juga dilontarkan oleh semua ulama kecuali Syahrur. Syahrur sebagaimana diketahui adalah mufassir yang menggagas Al-Quran secara organik. Tidak terikat pada kronologis periwayatan. Dalam tafsir yang jauh dari relasi dan korelasi ayat dan makna, Syahrur cenderung memasukkannya ke dalam rumus-rumus teknis. Syarat disiplin ilmu para mufassir di atas, bila dihadapkan dengan teori penafsiran yang diusung Muhammad Syahrur, maka tinggal satu disiplin ilmu saja, yakni ilmu bahasa Arab. Kemudian makna dari bahasa Arab tadi akan dikontekstualisasikan dengan realitas kekinian. Tidak perlu lagi ‘Ulum al-Qur’an, ‘Ulum al-hadis, karena menurutnya keduanya hanyalah alat untuk memahami al-Qur’an yang bisa digantikan dengan alat lain. Bahkan, ia berpendapat, ketika menggunakan alat tadi hanya akan mengulang-ngulang penafsiran dan mengungkung pemikiran, sehingga perkembangan tafsir menjadi stagnan.
Menurut Imam Masrur dalam “Telaah Kritis Syarat Mufassir Abad Ke-21”, syarat dan prasyarat kualifikasi ilmu sebenranya tidak ada dalil yang sarih menyebutkannya”
“Sebenarnya tidak ada nash yang menjelaskan secara eksplisit mengenai kualifikasi keilmuan apa saja yang harus dikuasai oleh mufassir. Al-Qur’an hanya menyinggung wa al-rashikuna fi al-ilmi (orang-orang yang mendalam ilmunya) yang bisa menjelaskan al-Qur’an. Namun kemudian, syarat disiplin ilmu yang universal di atas bisa dipandang sebagai pengejawantahan dari kata alra>sikh tersebut. Diharapkan dengan adanya syarat yang ketat tersebut, al-Qur’an kemudian tidak lagi dimaknai semaunya sendiri.”
Tugas seorang mufassir pada intinya adalah menjelaskan kata-kata ayat Al-Quran yang kurang jelas atau masih samar pengertiannya. Sehingga dibutuhkan keterangan atau penjelas (bayan) agar dapat menjadi terang benderang. Dalam hal ini, tentu dicari makna-makna yang lebih dekat pada ruang dan waktu ayat tersebut secara kronologis (asbabun nuzul), baik melalui hadis, keterangan-keterangan tabi’, tabi’in, atau dari makna-makna populer yang hidup sezaman dengan ayat tersebut melalui syair-syair atau karya-karya sastra yang lain. Maka, di sini dipentingkan, maksud kata “mengerti bahasa Arab” tentu juga kebiasaan-kebiasan orang Arab, baru bisa ditarik benang merah penafisrannya.
Namun, jika masih juga tidak ditemukan, maka menurut hemat penulis, “Al-Quran diturunkan dengan bahasa manusiawi”. Untuk mengenal bahasa manusiawi, maka perlu dipelajari makna-makna sastrawi. Jika tidak, Al-Quran tidak akan pernah menyentuh aspek-aspek kemanusiaan manusia. Karena, ada juga bahasa manusia yang universal yang sering disebut makna “intersubjektif”. Wallahu a’lam.