Dalam skala kecil, bahasa sangat menentukan kepribadian seseorang. Apakah dia dalam kondisi stabil atau sedang mengalami kekacauan? Ungkapan kata-katanya adalah cermin psikologis. Bisa dibilang, tatapan mata adalah jendela jiwa, mulutnya adalah pintu, sedangkan kata-kata adalah buah hatinya.
Kitab Suci dan Susastra
Kitab Suci Al Quran yang tertulis (corpus, الكتاب اى الذي يكتبه) adalah karya monumental Kalam Langit yang berhasil dibukukan. Ia menjadi bukti langit memiliki wewenang terhadap realitas. Artinya, tidak ada realitas yang benar-benar mati.
Kaum thariqah percaya, jika Allah Sang Adikodrati telah menurunkan WahyuNya sejak awal kejadian. Di dalam Al Quran disebutkan, Allah Taala ber-Kalam langsung kepada janin di dalam alam rahim yang hendak lahir, begitu pula secara kontinyu Ia memberi Wahyu kepada para lebah untuk membuat sarang, bertelur, lalu mengumpulkan madu.
Pada latar sejarah manusia, Allah Taala ber-Kalam kepada Adam, Idris, dan seterusnya hingga Muhammad saw. Dan, terus berkomunikasi melalui ilham kepada hamba-hamba-Nya.
Melalui Kalam Suci ini, kemudian susastra terbentuk dan menjadi cermin zaman. Segala yang terkatakan meliputi yang tak terkatakan. Dari kurun ke kurun, susastra membentuk sistem bahasanya sendiri dan terdokumentasikan ke dalam lembaran-lembaran Kitab Suci. Sebagaimana Weda dan Zabur, Taurat dan Injil, serta Al Quran sendiri. Dari sudut ini, kajian susastra melihat, kitab-kitab suci terlahir sebagai refleksi sejarah panjang manusia.
Namun susastra juga menilai: walaupun Kitab Suci adalah cerminan zaman secara berkala, ia mesti terurai.
Istilah Syattari dalam Thariqah
Setelah masa Rasulullah saw, ditetapkan tidak ada lagi Nabi atau Rasul. Status mereka diturunkan menjadi ulama atau kekasih Allah (waliyullah). Dari mereka, kabar berita dan komunikasi Allah Taala masih tetap berlangsung hingga kini dan di sini kepada paramanusia. Dan, kepada makhluk-makhluk selain manusia, Allah memilih bahasa tersendiri untuk mereka.
Ketika Al Quran mulai dibukukan pada masa Sayyiduna Abu Bakar dan selanjutnya Paripurna pada masa Sayyiduna Usman bin Affan, Sayyiduna Ibnu Mas’ud dan Sayyiduna Ibnu Abbas menolak Sayyiduna Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pelaksana pembukuan Al Quran. Pendapat mereka, Sayyiduna Zaid bin Tsabit tidak cukup representatif untuk menjadi jurutulis, karena merekalah yang lebih pantas. Sebab, merekalah yang lebih mengerti tentang makna-makna Al Quran.
Meskipun demikian, sejarah kemudian mencatat: Al Quran yang dicatat Sayyiduna Zaid bin Tsabit (mushaf Utsmani) adalah yang diakui oleh mayoritas sahabat dan kaum muslimin. Dengan sendirinya, pendapat Sayyiduna Ibnu Mas’ud dan Sayyiduna Ibnu Abbas tidak diterima. Ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah menempatkan keduanya pada posisi ahli makna sesuai kapasitas untuk makna-makna batin (tersirat) dari Al Quran yang tertulis (الكتاب اى الذي يكتبه). Singkat kata, mereka lebih paham untuk makna-makna yang tidak tertulis di dalam makna lahir Al Quran. Sementara kalangan Ahlul Bait lebih mempersempit hanya pada keluarga Rasulullah saw saja yang lebih mengerti tentang makna-makna batin tersebut.
Makna-makna batin Al Quran ini berkembang pesat pada kalangan thariqah. Thariqah merupakan satu istilah yang populer kemudian setelah masa Syekh Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166 Masehi) meskipun di dalam Al Quran juga disebutkan sebagaimana ayat;
وان لو استقاموا على الطريقه لاسقيناهم ماء غدقا
Gerakan-gerakan kalangan ini, tidak saja coba membuka tabir-tabir rahasia Ilahi menurut batin mereka, lebih dari itu coba menguak makna-makna batin Al Quran. Seorang mufassir yang hanya mengandalkan makna kamus di dalam menafsirkan satu kata atau satu ayat Al Quran akan berhenti pada level makna-makna lahir saja. Tidak menyentuh pada aspek-aspek batin dari makna-makna Al Quran. Secara fenomenal, Syekh Najmuddin Al Kubra (1145-1221 Masehi) kemudian menulis sebuah kitab representatif, Tafsir Al Ta’wilat Al Najmiyah Fi Tafsir Al Isyari Al Shufi.
Bagaimana dengan istilah Syattari? Syekh Najmuddin menyebutnya sebagai maqam, bukan sebuah nama thariqah yang dikenal sekarang (meskipun ada penjelasan tersendiri). Syattari adalah posisi seseorang di dalam perannya sebagai penggali makna-makna batin Al Quran, mereka hidup di alam realitas sebagaimana mulamatiyah, isyqiyah, rijal al ghaib, dan lain-lain. Sebanyak napas dan huruf-huruf Al Quran. Misal, ia mengemis karena sedang menjalani peran syattarnya dari pandangan khalayak. Ia mastur (bersembunyi) di balik kemewahan-kemewahan dan kemegahan-kemegahan. Begitu pula bersembunyi dalam arti sesungguhnya dengan hidup menepi di makam-makam parawali atau di gunung-gunung. Sesekali, “nyatori”!
Terlalu banyak fitnah dan ujaran kebencian di zaman sekarang, mungkin karena masih kurang nyatori. Atau, bisa jadi terlalu banyak peran syattari sehingga membingungkan orang lain dan terlalu serakah di luar koridor sufiyah.
Yogyakarta, 15 Juni 2022.