Sejarah alternatif yang menulis tentang organisasi pergerakan kaum santri dari masa Pemerintahan Hindia Belanda (PHB) hingga masa Pemerintahan Republik Indonesia (PRI) tidak begitu terang benderang. Dari segi organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) misalnya lebih sering ditulis oleh Sejarawan Indonesianis dengan cara parsial, tidak utuh. Apalagi pada masa PHB, nyaris tak tertulis.
Begitu pula, sejarawan NU menulis cikal bakal berdirinya selalu diawali dari kisah tongkat Syekhona Kholil Bangkalan; tiga organisasi pilar NU seperti Nahdlatul Wathan (pendidikan), Nahdlatul Tujjar (kongsi dagang),dan Tasywirul Afkar (kontribusi pemikiran); serta, pembentukan Komite Hijaz dalam rangka melindungi aset-aset sejarah di Arab Saudi karena pergantian rezim oleh koalisi Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdil Wahab (Wahabi). Hal ini yang menyangsikan sejarawan di luar NU untuk mengatakan klaim sejarah NU yang besar seperti adanya rapat pengurus NU se-Jawa dan Madura. Dalam satu gerak komando, NU tiba-tiba menjadi organisasi besar. Tanpa proses dan latar belakang. Padahal, kesangsian tersebut bisa dijawab dengan banyak bukti.
Pertama, dari tulisan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari sendiri tentang situasi zaman itu (sekitar tahun 1912) yang menceritakan mulai bermunculan banyak organisasi, ideologi politik, serta ragam pemahaman agama. Hadratussyekh yang merasa penduduk Hindia Belanda (dan sebelumnya) telah mengamalkan praktik-praktik Mazhab Syafi’i (seperti diakui pula oleh A Hassan Bandung; Hadratussyekh adalah seorang Syafiian), lalu mengumandangkan gerakan Ahlussunah wal Jama’ah yang secara metodologi didukung oleh Syekh Nawawi Al Bantani dengan tambahan Empat Mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali). Sentimen Syafi’iyah ini yang cepat merekat manakala ancaman-ancaman dari banyaknya ideologi politik, organisasi (baik sosial maupun keagamaan), serta paham-paham keagamaan mengancam.
Kedua, di berbagai daerah di Hindia Belanda (sebelum kemerdekaan RI), bermunculan organisasi-organisasi adat dan sosial keagamaan dengan cara tertib manajemen lebih baik. Mereka tidak saja menyelenggarakan dakwah dan membangun persaudaraan seperti arisan keluarga, melainkan juga ekonomi makro seperti upaya jasa pemberangkatan haji, koperasi, dan membangun lembaga-lembaga pendidikan. Pesantren sebagai lembaga yang selalu menjadi sorotan PBH, terutama pascaperang Dipanegara dan pemberontakan petani Banten, selalu diawasi dengan ketat.
Kaum santri memelopori organisasi-organisasi intrapesantren dengan berbasis daerah masing-masing. Tujuan mereka, selain membangun solidaritas, adalah menggalang kekuatan untuk memodernisasi pesantren. Meskipun dalam cita-cita tersebut, perselisihan paham sering terjadi, terutama dari afiliasi Islam ideologis yang berorientasi pembaharuan dan pemberantasan bid’ah. Bid’ah menjadi isu paling seksi untuk membangun resistensi yang sering memicu konflik di masyarakat.
Atas dasar amaliah Mazhab Syafi’i di bawah bendera Ahlussunah wal Jama’ah, Hadratussyekh membangun visi bersama di dalam Nahdlatul Ulama sehingga organisasi-organisasi lokal dapat bergabung secara nasional. Meskipun catatan-catatan tentang organisasi-organisasi lokal ini sangat minim dan kalah populer bila dibandingkan dengan organisasi-organisasi nasionalis atau Islam modern lainnya.
Hal yang tampak dan masih bisa ditelusuri tentang catatan-catatan organisasi lokal ini adalah organisasi-organisasi ketentaraan yang dibina oleh Pemerintah Jepang yang lebih pro pada pesantren.
Sejarah kemunculan Orda (organisasi daerah) di berbagai pesantren menjadi salah satu basis kesadaran berorganisasi kalangan pesantren seperti IKaSS, Ikatan Santri Sumatera Selatan, di Pesantren Tebuireng, dan lain sebagainya. Salah satu pemuda penggerak organisasi pesantren yang paling bersemangat diantaranya adalah KH Syansuri Badawi (1918-2000 Masehi).
Yogyakarta, 16 Juni 2022.