Sejak Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900 Masehi) menyatakan kredonya, Gott ist tot (God is dead, Tuhan sedang mati), maka di satu sisi orang-orang berbondong-bondong meninggalkan Tuhan mereka dan menjadi atheis. Tuhan tidak diperlukan lagi untuk hadir dalam kitab-kitab suci. Setiap pembaca bebas memberi makna dan menafsir. Ini Abad Pencerahan!
Sementara sebagian lagi dari kalangan gereja menafsirkan; itulah bentuk Tuhan secara nyata, tanpa rekayasa. Karya adalah wujud dan bahasa Tuhan. Puncak asketisme Nietzsche melihat Tuhan secara nyata, ril, dan rasional di dalam sebuah karya.
Nasib Susastra Indonesia
Terlepas dari Nietzsche yang menempatkan karya sebagai bukti fisik dan otentik dari sejarah, maka di ranah historiografi juga memerlukan bukti-bukti otentik yang wujud. Tidak ada bukti (fisik), tidak ada sejarah.
Agaknya, perdebatan ada dan tidak adanya bukti fisik ini akan terus berlanjut di kalangan sejarawan. Hal ini berkaitan dengan karya-karya fiksi yang tidak bisa dianggap otentik, termasuk di dalamnya kitab-kitab suci. Husein Djajadiningrat (1886-1960 Masehi), Bapak Historiografi Indonesia, agaknya pula belum menemukan kepelikan ini. Antitesisnya terhadap Sejarah Kolonial masih dalam bentuk semangat. Semangat “yang terkatakan”, bukan “yang terpikirkan”.
Demikian pula halnya dengan susastra Indonesia. Pada akhirnya, terbentur pada masalah-masalah otentikasi fisik alias yang terkatakan (القول اى الذي يقول له) dan yang tertulis (الكتاب اى الذي يكتبه). Gampangnya, tidak penting siapa yang membuat, yang penting enak didengar dan enak diucapkan. Asal ketemu puitikanya, ya sudah selesai.
Demikian pula sejarah, akan melahirkan beragam penafsiran yang tidak kunjung selesai. Sebuah takwil sejarah tidak mampu mengangkut bukti yang mendekati kata-fakta. Hanya sebatas tafsir. Hal ini tampak jelas: hilangnya tujuh kata Piagam Djakarta tidak memberi takwil yang berhasil dalam memaknai sila Ketuhanan yang Maha Esa bagi sebagian umat Islam di Indonesia. Klaim mayoritas telah berhenti pada level tafsir sejarah.
Para Penyair Menurut Al Quran
Kasus-kasus sejarah mirip-mirip kasus susastra, untuk tidak dikatakan sama. Kalau dikatakan sama, nanti banyak yang protes; Al Quran itu fiksi atau fakta?
Sampai di sini, baik susastra maupun sejarah lebih mementingkan karya dan fakta yang berbicara, serta tafsir-tafsir berikutnya. Tidak peduli, apakah tafsir-tafsir itu benar atau salah? Maknanya mendekati fakta ataukah tidak? Yang penting puitika!
Contoh pada penggunaan makna kata Al Quran dalam surat Al Syuara pada ayat 224-227 berikut;
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.
أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah,
وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ
Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
Dengan catatan, mengapa kata الْغَاوُونَ yang tercetak bold hanya dimaknai dengan “orang-orang sesat” yang abstrak? Kenapa tidak dimaknai sebagai “orang-orang binal” saja yang lebih konkrit dan mendekati kata-fakta?
Wallahul Musta’an.
14 Juni 2022, dalam perjalanan Cirebon-Yogya.