Kaliwungu-Net26.id Di antara guru mulia yang sangat dihormati oleh Allah yarham Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) adalah KH Dimyati Rois. Dia adalah Pengasuh Pondok Pesantren Fadlu wal Fadlilah, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Mbah Dim, demikian sebutan namanya biasa diucapkan oleh warga Nahdliyyin, dikenal sejak kecil sudah memiliki kelebihan-kelebihan yang aneh-aneh.
Santri Lelana
Penghormatan Gus Dur terhadap Mbah Dim karena menguasai sejarah NU dan ulama-ulama sepuh yang sezaman dengan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. “Pada zaman itu, ada tiga kiai terkenal sama-sama memiliki nama Soleh,” terangnya pada medio 2017 di ndalem pesantren, “Mbah Soleh Darat, Mbah Soleh Langitan, dan Mbah Soleh Gresik. Ketiganya guru-guru alim yang menjadi tempat singgah mesantren selama Hadratussyekh menjalani laku lelana.” Laku lelana atau kelana adalah tradisi santri-santri zaman prakemerdekaan untuk bertabarukan (menambah keberkahan) dari parakiai dari pesantren ke pesantren yang umum di Jawa. Tradisi tersebut masih terlihat biasa pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1960an. Santri-santri lelana itu biasa berjalan kaki menempuh perjalanan jauh dengan bekal seadanya. Mereka hidup prihatin, sengaja tidak mau naik kendaraan, meskipun tantangan marabahaya sudah siap menghadang di depan. Susastra seperti Bujangga Manik (susastra Sunda) dan Bagus Burham Ranggawarsita adalah di antara yang mengisahkan orang-orang zaman dulu pergi mesantren dengan laku lelana.
Dua Dimyati
Ada dua nama Dimyati yang mengiringi langkah Gus Dur manakala menjelang Reformasi 1998. Pertama, Abuya Dimyati, Cidahu, Pandeglang, dan Mbah Dimyati Rois Kaliwungu. Keduanya sama-sama memiliki kelebihan yang istimewa dan langka. Bisa dikatakan sebagai jimat NU.
Keduanya sama-sama memiliki pamor dan kharismatik. Yang satu dikenal sebagai guru thariqah yang antik sementara yang satu lagi dikenal sebagai ahli bahasa. Ya, Mbah Dim menguasai banyak bahasa Asing meskipun tidak pernah kursus atau sekolah khusus. Mbah Dim bisa dibilang santri kuthuk. Santri yang tidak mengenal dunia luar.
Mbah Dim lahir pada tanggal 5 Juni 1945 di Tegalglagah, Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah. Ia wafat tepat pada malam Jum’at dini hari, sekitar pukul 1.10 WIB di RS Tlogorejo Semarang. Jika ingat pesan Mbah Moen (KH Maemoen Zubeir, 1928-2019) dulu, maka Mbah Dim termasuk wali Allah. Sebab, menurut Mbah Moen, ulama yang wafat pada hari Jum’at ia masuk kategori wali Allah; kalau wafat hari Selasa ia masuk kategori ahli ilmu.
Kenangan pada Mbah Dim tidak sedikit yang melekat. Kalaupun sedikit, terasa dekat. Ia dikenang dan dihormati banyak pihak. اللهم اغفر له و ارحمه و عافيه واعف عنه