Kata Ahlussunah wal Jama’ah (أهل السنة والجماعة) bagi sebagian besar umat Islam tidak dipandang penting. Mereka beranggapan: Islam adalah agama. Tidak ada yang lain. Yang bisa menyelamatkan adalah Islam di dunia dan di akhirat. Islam adalah solusi. Bahkan, dikatakan secara ekstrim oleh sebagian umat; Islam wa daulah. Islam juga negara. Mereka tidak memikirkan mekanisme sebuah negara Islam itu seperti apa? Secara membuta, mereka berkata: persatuan Islam. Tanpa warna warni suku-bangsa, adat istiadat, dan tradisi. Semua diseragamkan.
Konsep yang Memerlukan Reformulasi
Baik kata-kata dalam Al Quran maupun hadis Rasulullah saw merupakan adagium, kata-kata yang mengandung pribahasa. Hal demikian memerlukan makna secara ideologis (talwin), makna yang memerlukan definisi agar bisa disesuaikan dengan situasi, waktu, dan tempatnya.
Demikian pula dengan kata Ahlussunah dan Jama’ah. Kata Ahlussunah kadang diartikan sebagai pengamal tradisi Rasulullah saw, terkadang juga diartikan paraahli yang menguasai hadis. Sedangkan kata Jama’ah diartikan dengan berkumpul atau bersama-sama. Sebagai pengamal dan ahli hadis, hal ini sering diartikan secara “letterleijke” atau tekstual, tidak boleh bersentuhan dengan realitas. Seratus persen harus betul. Bahkan, realitas harus tunduk pada makna tekstual tersebut. Seperti perintah mencium Hajar Aswad, harus bersentuhan langsung secara fisik, tidak boleh dengan kode melambaikan tangan misalnya.
Memang, Islam diturunkan secara sempurna pada zamannya. Pada masa Rasulullah saw masih hidup. Hal ini ditandai dengan kehadiran Al Quran dengan bahasa susastra yang sempurna. Sebuah tatanan sosial dikatakan baik apabila sudah mencerminkan penggunaan bahasa yang baik pula. Bahasa adalah cermin kepribadian. Sehingga sebagian sarjana berpendapat: kehidupan yang baik adalah seperti pada masa Rasulullah saw apa adanya. Semua perangkat sistem harus menyerupai seperti pada masa Rasulullah saw. Mereka tidak berpikir, apakah perangkat sistem tersebut masih layak atau tidak?
Dalam membangun sebuah sistem sosial, mayoritas umat Islam berpandangan: realitas selalu berubah. Jika pada zaman dahulu kendaraan berupa onta, khimar, atau kuda, maka zaman sekarang sudah dipermudah dengan teknologi mesin. Walaupun pada kenyataannya fungsinya sama sebagai kendaraan. Sehingga untuk menyesuaikan diri diperlukan sebuah mekanisme tersendiri agar fungsi tersebut bisa disesuaikan dengan realitas.
Kedaulatan pada masa Rasulullah saw yang dibimbing okeh Wahyu serta demokrasi pada masa Al Khulafa Al Rasyidin memerlukan mekanisme musyawarah agar maksud dan tujuan diselenggarakannya kedaulatan tetap berjalan. Ketika wilayah sebaran kaum muslimin semakin luas, mekanisme Wahyu yang sudah terputus dan mekanisme musyawarah tidak dapat berjalan efektif, maka digunakanlah mekanisme khilafah. Karena, ciri-ciri mekanisme menghendaki suatu kabilah atau dinasti di suatu daerah dapat menegakkan kedaulatan.
Makna-makna Ekstrim
Keadaan atau situasi yang tidak pasti telah mengajak paraprajurit di medan perang merindukan kampung halaman. Demikian, kata Sun Zu, ahli strategi perang dari China. Artinya, masyarakat membutuhkan sebuah kepastian. Dan, tuntutan-tuntutan akan kepastian tersebut telah menggiring kepada halusinasi yang ekstrim diantaranya dengan merindukan masa lalu. Tentu, halusinasi ini hanya menawarkan keindahan-keindahan romantis, tanpa melihat ekses-ekses buruk, kepedihan, dan kepedihan dari masa lalu itu.
Di dalam Risalah Ahlu Al Sunnah wa Al Jama’ah (رسالة أهل السنة والجماعة), Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari menyebutkan;
ثم إنه حدث في عام ألف وثلاثمائة وثلاثين أحزاب متنوعة، وآراء متدافعة، واقوال متضاربة، ورجال متجاذبة.
Kemudian pada tahun 1330 Hijriyah (1912 Masehi) muncul beragam kelompok dengan paham yang berlawanan, pendapat yang berseberangan, dan orang-orang yang berselisih paham.
Kitab tersebut menjelaskan: umat Islam di tanah Jawa pada mulanya menganut paham yang sama; Imam Al Syafi’i atau Mazhab Syafi’i dalam bidang Fiqih; Imam Al Asy’ari dalam bidang Ushul Al Din; dan, Imam Al Ghazali serta Imam Abu Al Hasan Al Syadzili dalam bidang Tasawuf. Hal ini menggambarkan; situasi dan kondisi umat Islam sedang mengalami perubahan besar dengan adanya berbagai macam paham. Sebagaimana diketahui, pada masa itu sedang terjadi peralihan kekuasaan dari imperialisme kepada nasionalisme. Berbagai macam ideologi politik mulai tersebar dari belahan dunia Barat menuju negara-negara Timur. Termasuk, Nusantara kala itu.
Maka, untuk menentang kekuasaan imperialisme global pada masa itu diperlukan sebuah konsep, mekanisme, dan reformulasi perangkat sistem. Sebab, Islam tidak bisa difungsikan dengan efektif untuk menyatukan umat. Islam pada masa itu sudah menjadi sebuah ideologi yang sama ekstrimnya dengan ideologi-ideologi lainnya seperti imperialisme itu sendiri, nasionalisme, komunisme, sosialisme, kapitalisme, maupun liberalisme. Pasti akan terjadi benturan.
Realitas Kemanusiaan
Perubahan sistem sosial disadari Buya Said (KH Said Aqil Siroj) sedang mengalami perubahan. Terjadi pergeseran, ketimpangan, dan ketidakadilan. Hal ini sudah menjadi tanda-tanda sejak Perang Teluk dan Perang Musim Panas (Arab Spring). Tatanan dunia sudah mulai tidak stabil. Maka, diperlukan reformulasi perangkat sistem dengan memandang realitas kemanusiaan (الواقعية الانسانية). Manusia harus diselamatkan.
Islam sudah pasti tidak dapat berfungsi dengan baik karena minoritas dan masyarakat Indonesia heterogen, begitu pula dengan Ahlussunah wal Jama’ah dalam menghadapi realitas Pancasila yang semakin kuat sebagai konsensus bernegara atau berdaulat. Kenyataannya, antara Pancasila dan Ahlussunah wal Jama’ah harus saling mendukung dalam menghadapi situasi yang kacau akibat perang global. Sistem ekonomi dan politik mulai bergeser.
Dengan kata lain, realitas yang dihadapi oleh konsep Ahlussunah wal Jama’ah pada masa Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari berbeda dengan realitas sekarang. Jika pada masa Hadratussyekh Ahlussunah wal Jama’ah menjadi kekuatan besar dalam menghalau kekuatan sekutu dalam Perang Dunia Kedua, maka pada masa sekarang sedang menghadapi ketidakpastian dan ketidakadilan dalam Perang Dagang dan Geopolitik.
Wallahul Musta’an.