Pasti ada alasan kenapa susastra masih terus ada, sejak munculnya aksara, ditatah di batu, diguratkan di lembar daun lontar dan gulungan kertas sejak ribuan tahun lalu.
Seno Gumira Ajidarma
Jika susastra diawali dari aksara, maka selayaknya secara esensial patut dipahami dan diketahui susastra bukan hanya yang hanya dikenal belakangan ini saja, melainkan sesuatu yang hidup. Sehingga tidak memerlukan periodesasi yang tidak jelas pemetaannya. Dengan kata lain, untuk mengenal susastra Indonesia tidak cukup hanya dengan mengenal Balai Pustaka, Moh. Yamin, Armin Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, HB Jassin, dan lain lain, beserta angkatannya, melainkan lebih esensial lagi.
Secara esensial, Nusantara yang kini dengan syarat dan prasyarat wilayahnya sebagai Indonesia telah mengalami setidaknya memiliki tiga fase perubahan budaya. Pertama, fase bahasa dan aksara Kaganga, Kawi, dan banyak bahasa dan aksara terserak di kepulauan Nusantara. Kedua, fase bahasa Melayu (Pegon). Ketiga, fase bahasa Nasional. Dilihat dari esensi ini, tidak cukup mengenal susastra Indonesia hanya sekadar dari Melayu an sich sebagaimana dibaca dari buku buku matapelajaran susastra Indonesia pada umumnya.
Berangkat dari upaya kolonisasi Belanda setelah mengalami problem problem konflik yang mengakibatkan kebangkrutan negara seperti peperangan yang dipicu di berbagai daerah, maka banyak keputusan keputusan pemerintah Hindia Belanda yang digunakan sebagai kontrol terhadap wilayah dan kekuasaannya. Negara yang dibentuk sebagai Pemerintah Hindia Belanda memerlukan diri untuk mengukuhkan diri sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan.
Bahasa dan aksara merupakan prinsip utama yang perlu ditegakkan pertama kali seperti kehadiran ejaan bahasa Van Ophuijsen. Maka, upaya upaya penyatuan bahasa nasional dipandang perlu di samping penerapan hukum (ordonansi/undang undang). Demikian, budaya bahasa berkembang.
Pada awalnya, agama dan budaya merupakan inspirasi budaya sebagaimana bahasa dan aksara Kawi digunakan. Bahasa dan aksara Kawi tersebut digunakan sebagai bahasa ritual agama (Hindu dan manusia Jawa). Kemudian, diikuti oleh pembaharuan Pegon melalui bahasa dan aksara Arab dan Melayu. Aksara dan bahasa Pegon digunakan dalam ritual ritual pengantar dalam masjid dan pesantren pesantren. Terakhir, bahasa dan aksara Indonesia yang digunakan oleh negara sebagai bahasa dan aksara pengantar resmi.
Penulis: Goesd
Redaksi: Goesd