Untuk menghindari tindak kekerasan di pondok pesantren, jauh jauh hari Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar melarang kegiatan beladiri atau pencaksilat di Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng.
MQ Tebuireng dikhususkan belajar Al Quran yang didemonstrasikan ke dalam proses menghafal, baik masyhurah maupun sab’ah, serta pendidikan dan pengajaran ilmu ilmu kealquranan yang dimadrasahkan. Sehingga sejak berdiri pada 31 Desember 1971, MQ Tebuireng telah melahirkan ribuan penghafal Al Quran yang memiliki kapasitas intelektual mengagumkan. Dan, jauh dari tindak tindak kekerasan.
Mengaca dari sejarahnya, beladiri atau pencaksilat merupakan kesenian yang lahir dari rahim pesantren. Di berbagai daerah di Indonesia, beladiri atau pencaksilat merupakan salah satu media ajaran Islam dapat menyentuh pada kehidupan masyarakat secara nyata. Di Sumatera Barat, misalnya, pencaksilat diajarkan di surau surau bagi anak anak kampung (parasiak) sebelum mereka beranjak dewasa. Begitu pula, di Banten, Betawi, Cirebon, dan pesantren pesantren pada umumnya, pencaksilat diajarkan di masjid masjid dan mushalla mushalla. Menjadi tradisi, turun temurun.
Berikut tuturan Tuan Guru Dzulmanni Al Banjari, sosok budayawan dan tokoh agama asal Kalimantan Selatan yang merespon atas tindak kekerasan yang terjadi di pesantren belakangan ini. (Redaksi).
Menyikapi Kekerasan di Pesantren
Ketika beberapa waktu lalu kita mendengar kabar duka bahwa telah terjadi unsur kekerasan di Ponpes Gontor Darussalam Ponorogo yang mengakibatkan seorang santri meninggal dunia, kita umat Islam dengan prihatin mengucapkan belasungkawa: innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kita semua ikut berduka cita. Satu nyawa apalagi nyawa seorang muslim teramat mahal harganya di sisi Allah swt.
Kita tidak bermaksud menyalahkan siapa pun, apalagi mencari kambing hitam. Kita dalam kesempatan kali ini hanya bisa bertanya: kok bisa di pondok pesantren sebesar Gontor terjadi kekerasan fisik hingga salah seorang santrinya meninggal dunia. Soal takdir kita tidak membahas. Ruh bukan milik kita. Ruh milik Allah. Soal hidup dan mati memang urusan Allah. Tak ada hak bagi kita untuk ikut mencampuri hak mutlak Allah.
Namun demikian, sebagai hamba kita punya kewajiban untuk menjaga ruh atau nyawa kita yang dalam hukum Islam disebut dengan istilah “hifzhunnafs”, menjaga keselamatan jiwa. Dengan kata lain, apa pun bentuk sikap dan perbuatan yang menyebabkan nyawa bisa melayang maka hendaknya dihindari. Jangankan memukul orang secara fisik, berburuk sangka saja kepada orang lain kita tidak boleh.