Hadarat Al Islam di Maghrib memiliki kompleksitas tersendiri bila dibandingkan dengan kompleksitas yang dimiliki Masyriq. Jika di Masyriq umat Islam dihadapkan pada puing-puing kebudayaan Persia, maka di Maghrib dihadapkan pada kegelapan (darkness) Eropa.
Dan, kegelapan tersebut justeru menjadi arus balik yang melanda umat Islam, sementara Eropa bangkit berdiri di atas puing-puing kebudayaan umat Islam. Umat Islam terjebak pada mistifikasi yang dibangun oleh otoritas pemangku tradisi demi kelestarian, sementara suku-suku-bangsa Eropa terus berinovasi menjelajahi dunia.
Dinasti Saadi (1509-1659 Masehi)
Dinasti Saadi atau Al Sa’adiyah semula bernama Zaydan ketika Sultan Mohammed Al Sheikh naik ke tampuk kekuasaan pada 1554 Masehi. Pada 1509 hingga 1554, Dinasti Saadi hanya menguasai bagian Selatan Maroko. Dinasti ini berakhir setelah masa Sultan Ahmad el Abbas.
Kejayaan Dinasti Saadi terhitung pada masa Sultan Ahmad Al Mansur (1549-1603), putera ketiga Sultan Muhammad Al Syekh.
Al Mansur menjadi sultan di Maroko pada 1578. Ia menggantikan saudara kandungnya, Sultan Abu Marwan Abd Al Malik Saadi, yang wafat dalam pertempuran melawan pasukan Portugis di Ksar el Kebir.
Sultan Ahmad Al Mansur adalah salah satu penguasa terpenting dalam sejarah Maroko dan Afrika Utara. Ia menduduki tahtanya tidak kurang dari 25 tahun pada abad ke-16. Ia dikenal piawai dalam melakukan diplomasi untuk menguasai kawasan Mediterania. Ia berhasil menggalang kekuatan militer bersama Inggris Raya untuk melawan Spanyol, terutama monopoli atas Benua Amerika yang baru ditemukan. Ia cukup mumpuni di bidang taktik politik dan strategi militer.
Sebagai pihak yang merasa memiliki garis keturunan Nabi Muhammad, Al Mansur adalah pemegang otoritas keagamaan karismatik dengan ambisi untuk menjadi khalifah dan penguasa semua muslim.
Maka tidak heran, pengaruhnya terhadap empat benua, Dr. Garcia-Arenal telah menempatkan sosok menarik ini dalam konteks intrik politik, penemuan, dan penaklukan militer. Al Mansur dikenal sebagai Bapak Modern di belahan Barat Afrika Utara sehingga digelari “Maker of the Muslim World”.
Dalam catatan “Britanica”, selama tahun-tahun awal pemerintahannya, sebagian besar tentara bayaran dilatih dan dipimpin oleh Turki Usmaniyah. Sistem administrasi pemerintahan terpusat, dan pejabat penting negara diberi beban pengurusan tanah dan bebas dari perpajakan. Bukti pengawasan properti dilakukan dan pendapatan tanah dikumpulkan secara langsung. Pertanian dan industri gula dikembangkan. Marakesh menjadi kota yang kembali megah.
Amad Al Manṣūr menampung pengrajin imigran, istananya terkenal karena kemegahannya. Kota-kota Gao dan Timbuktu sebagai jalur perdagangan Sudan direbut pada 1591 Masehi. Ia menampung sejumlah besar emas ke perbendaharaan pusat, sehingga ia digelari Al Dhahab.
Meskipun berseteru dengan Spanyol, ia tetap menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik secara efektif untuk mematahkan monopoli yang dipegang sejak 1585 oleh Perusahaan Barbary, yang dibentuk oleh pedagang Inggris untuk mengendalikan perdagangan luar negeri.
Di bidang militer, Maroko muncul sebagai sebuah kekuatan baru. Pasukannya berhasil memukul mundur tentara Portugis dari Bumi Maroko. Banyak penguasa di Eropa ngin menjalin aliansi militer. Ia mengirim Abd el Quahed ben Messaoud, sebagai duta besar untuk Kerajaan Inggris Raya guna melakukan negosiasi pembentukan aliansi melawan Spanyol. Sehingga terjalin aliansi Anglo-Maroko.