Cirebon-Net26.id Jika dunia Islam mengenal baik Imam Al Ghazali (wafat 1111 Masehi), maka kini dapat mempelajari pemikiran-pemikiran baik dari KH Husein Muhammad. Tokoh intelektual muslim yang langka di era kekinian, berkat tulisan-tulisannya yang coba mendobrak kejumudan secara sadar dan tidak sedang melanda umat Islam dunia.
Memang, tak dapat dipungkiri, dunia Islam sedang dirundung berbagai persoalan-persoalan geopolitik yang tidak berkesudahan sehingga belum muncul satu mercusuar yang dapat menjadi kompas di tengah-tengah kegalauan antara mistik dan rasionalitas keilmuan.
Sahabat Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ini memang memiliki dasar-dasar epistem (makrifat) yang kuat, baik dari sumber-sumber otoritatif tradisional (sering disebut turats) maupun kontemporer. Pilihan sikap intelektualnya yang cenderung terbuka sering dipandang “liberal”. Maka, tidak jarang, jika kemudian dirinya sering mendapat tantangan dari kalangan-kalangan tekstualis seperti yang sering disinggungnya. Karena, stigma liberal demikian sehingga gagasan-gagasan orisinalnya mudah diabaikan sebelum dibedah.
Sadar Tradisi
Membaca secara sepintas apalagi sepenggal-sepenggal tidak cukup merepresentasikan pemikiran utuh Abah/Buya Husein. Dan, kalangan oportunis-pragmatis atau istilah kerennya utilitarianis sering tidak sejalan dengan pemikiran Abah Husein ini. Mereka berpikir Abah Husein liberal, jadi tidak perlu dibaca. Padahal, banyak temuan-temuan jika pembacaan literal sekaligus teoretis cenderung abai pada tradisi dan keluar dari pakem-pakemnya. Di sini, pengabaian ini dapat dipandang sebagai sikap kemalasan berpikiran dan membaca.
Abah Husein dalam akun “Facebook” (Selasa, 26/4/2022) sadar jika pesantren misalnya memiliki potensi dan simpanan (khazanah) kekayaan, baik materi maupun immateri. Dari segi materi, kekayaan tersebut bisa berupa makalah-makalah di dalam kitab-kitab kuning (besar dan kecil), pribadi-pribadi muslim Indonesia yang tergolong baik kualitasnya, serta dunia Islam (dari Libya, Mesir, Arab, Iran, Afghanistan, dan tentunya Indonesia) adalah pemilik sumberdaya alam. Dari segi immateri, umat Islam memiliki khazanah tradisi tasawuf yang kaya. Kekayaan yang tidak dimiliki oleh suku-bangsa lain karena berorientasi pada materi belaka.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi umat Islam untuk dikatakan terbelakang. Justeru, keterbelakangan tersebut lebih bersifat mental yang dibuat-buat sendiri karena tidak berani keluar dari kurungan-kurungan dogmatis.
Sadar tradisi ini yang selalu mengingatkan umat Islam kepada Imam Al Ghazali. Sosok yang dikenal di pesantren sebagai pelopor mistifikasi. Akal yang seharusnya tercerahkan melalui “Rausyan Al FIkr”, yang tersinari oleh “Cahaya Tuhan”, justeru dipandang perlu dibunuh demi kejayaan mistik.
Ihya Ulum Al Din perlu dimaknai dengan hidupnya akal. Akal sebagaimana kalangan tasawuf membagi ke dalam beberapa macam seperti akal bashirah, akal fuadi, dan seterusnya. Jadi, bukan mistifikasi!
Aktualisasi Metode
Memandang kritik sebagai metode, bukan dalam arti “mencari-cari kesalahan” atau “mencaci maki”. Kritik harus dikembalikan kepada makna awal “untuk menimbang”. Kritik juga bisa dalam bentuk apresiasi, menghadirkan diri dan yang lain (the other) pada porsinya. Maka, “self criticism” bukan sesuatu yang harus dihindari dalam menuju kesadaran (consciousness).
Bagi Abah Husein, “Keadaan ini seharusnya menyadarkan kaum muslimin untuk menelaah kembali tradisi pemikiran mereka secara kritis. Mereka harus membangun kembali konstruksi keilmuan dan metodologinya sebagaimana yang pernah dimiliki. Ilmu-ilmu Islam harus dikembangkan untuk dapat memasuki wacana-wacana kontemporer dengan menggunakan metodologi yang relatif lebih sesuai dengan perkembangan modernitas dan intelektualitas manusia modern.” Sehingga menghadirkan kembali materi-materi yang ada dan tersimpan memerlukan cara saji yang baru, tidak monoton sebagaimana terjadi. Karena metode-metode lama bisa saja masih relevan, namun dalam kapasitas yang berbeda atau jauh lebih besar harus digunakan dengan yang baru. Ibarat menggali sebuah parit, bisa saja dilakukan dengan menggunakan cangkul. Tapi, untuk parit lebih besar, tidak hanya cangkul yang dibutuhkan, melainkan juga eskavator. “Beberapa metode yang pernah digunakan kaum muslimin awal sudah waktunya untuk digali dan diaktualisasikan kembali.”
Pengertian metode ini yang menyebabkan umat Islam pada umumnya enggan membuat inovasi-inovasi sendiri. Karena, pandangan dogmatis sudah memberi label terlebih dahulu dan mengharamkan akal misalnya. Padahal, dalam eksplorasi dan inovasi diperlukan keberanian-keberanian, tidak memandang status dengan label-label yang membuat susah bergerak, sebagaimana pembagian ilmu-ilmu yang tidak relevan dan kesalahan paham akibat sekularisme. “Tetapi ada beberapa hal yang perlu dikemukakan terlebih dahului. Pertama adalah cara pandangan dikotomistik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum harus sudah diakhiri, dengan menyatakan bahwa kedua jenis ilmu ini memiliki signifikansi yang sama dan keutamaan yang setara, sepanjang semuanya digunakan bagi kepentingan kemanusiaan. Kedua, pandangan-pandangan yang selama ini berkembang bahwa “ijtihad” telah tertutup dan tidak mungkin ada lagi orang yang mampu menandingi kwalifikasi intelektual generas awal, juga perlu ditinjau kembali. Untuk hal ini tentu saja dituntut kesediaan dan keberanian kaum muslimin untuk melakukan kerja-kerja intelektual yang mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan dinamika kaum muslimin.”
Dalam hal kritik, kehadiran sebuah karya adalah kritik. Kehadiran kitab suci Al Quran adalah kritik terhadap realitas, terhadap sejarah, terhadap hukum, maupun terhadap alam semesta yang memiliki makna universal. Berlaku umum, tidak saja bagi kalangan umat Islam saja.
“Al Suyuti sesungguhnya telah melancarkan kritik cukup pedas terhadap konservatisme intelektual ketika ia menulis judul bukunya : “al Radd ‘ala man akhlada ila al ardh wa jahila anna al Ijtihad fi kulli ‘ashrin fardhun”(kritik atas konservatisme dan terhadap mereka yang menolak ijtihad sebagai keharusan agama sepanjang masa). Ketiga bahwa produk-produk penemuan ilmiah berikut metodologinya pada dasarnya bukanlah sesuatu yang eksklusif. Penemuan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlaku bagi siapa saja dan di mana saja. Setiap penemuan ilmiah oleh siapapun, terlepas dari latar belakangnya, sepanjang dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia, harus dapat diapresisasi oleh kaum muslimin dan dipandang sebagai produk-produk yang Islami.”
Dengan demikian, kritik dapat bertujuan mengembangkan ilmu pengetahuan, bukan dalam pengertian pembunuhan karakter terhadap seseorang.
Cirebon, 27 April 2022.