Agama Islam diturunkan kepada suku-bangsa Arab melalui Kanjeng Rasulullah Saw dengan memuat pesan-pesan profetik. Pesan-pesan profetik yang menjunjung tinggi kemanusiaan tersebut kemudian tumbuh dan berkembang di berbagai belahan wilayah di dunia.
Namun demikian, sejarah panjang umat Islam sering dibatasi sendiri pada kejayaan Dinasti Abbasiyah saja. Setelah itu dianggap mundur. Padahal, dengan keruntuhan kota Baghdad pada 1258 Masehi, justeru sejarah dan geopolitik umat Islam semakin tersebar luas.
Hal ini dianggap maklum saja karena kejayaan muslim itu hanya dipandang dari segi bahasa dan budaya Arab, padahal menurut KH Said Aqil Siroj, 95 persen karya-karya intelektual muslim justeru muncul dari Khurasan, sementara selebihnya di luar itu, seperti karya-karya intelektual muslim Nusantara misalnya.
Untuk menggambarkan Hadarat Al Islam di dunia memang selayaknya konteks geopolitik lebih tepat untuk dikumandangkan daripada konteks sebuah negara. Karena, kenegaraan lebih mementingkan pada aspek-aspek administratif sebuah pemerintahan daripada wilayah-wilayah dalam pengertian tradisional. Dan, aspek ini menjadi sangat “debatable”.
Periodisasi Hadarat Al Islam
Hadarat Al Islam atau kebudayaan Islam berkembang secara geopolitik berjalan sangat cepat. Hal ini ditandai dengan diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw untuk pertama kali pada usia Beliau yang ke-40 tahun.
Periode 611-632 Masehi (Sistem Kerasulan, Profetik)
Secara formal, model negara mulai tampak ketika terbit Piagam Madinah pada tahun 622 Masehi meskipun dengan administrasi yang masih sangat sederhana sekali. Piagam Madinah tersebut ditujukan bagi semua suku dan agama di Yatsrib untuk menyatukan visi kebangsaan di dalam tata kelola kehidupan.
Adapun ciri-cirinya adalah kepemimpinan tunggal Nabi Muhammad Saw sebagai kepala pemerintah sekaligus Rasul utusan Allah. Secara geopolitik, wilayah kekuasaan meliputi Kota Madinah. Sementara kota Mekah sebagai pusat ibadah umat Islam masih dikuasai oleh pembesar-pembesar suku Quraisy. Pada peristiwa “Fath Makkah”, Rasulullah Saw tidak serta merta mengambil alih kepemimpinan Abu Sufyan sebagai pemimpin kota Mekah.
Periode 632-661 Masehi (Sistem Demokrasi)
Sepeninggal Kanjeng Nabi Muhammad Saw, parasahabat melakukan konsolidasi kepemimpinan dengan melakukan musyawarah penunjukan langsung dan voting di Tsaqifah Bani Saidah. Ciri-ciri kepemimpinan tidak semua bergelar khalifah. Umar bin Al Khattab justeru menggunakan gelar Amir Al Mukminin. Sistem demokrasi ini berlangsung selama Periode Madinah (632-656 Masehi) hingga masa akhir Khalifah Utsman bin Affan. Adapun pada periode berikutnya, Periode Kufah 656-661, mulai terjadi dualisme kepemimpinan. Sayyiduna Ali bin Abi Thalib di Kufah dan Muawiyah bin Abi Sofyan di Damaskus. Selain khalifah, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib juga digelari oleh sebagian umat Islam “Al Imam”.
Adapun secara geopolitik, wilayah kekuasaan pun terbelah dua, Muawiyah bin Abi Sofyan dengan corak monarki di Utara dan Ali bin Abi Thalib dengan corak teokrasi di Timur dan Selatan jazirah Arab.
Periode 661-1299 Masehi (Sistem Dinasti, Keturunan)
Sejarawan sepakat, periode Dinasti Umayyah (661-750 Masehi) di Damaskus dan Dinasti Abbasiyah (750-1261 Masehi) di Baghdad merupakan satu kesatuan sistem geopolitik meskipun pola kepemimpinan jatuh kepada sistem monarki dan teokrasi dengan gelar Khalifah. Dinasti Umayyah secara terpisah memasuki periode tersendiri pada 750-1031 Masehi di Eropa Barat dengan ibukota Cordova.
Sejak kejatuhan kota Baghdad pada 1258 Masehi menandai otoritas thariqah mulai berlaku. Thariqah sebagai aliran keagamaan bergerak mengalir dan membentuk dinasti-dinasti selanjutnya hingga masa berdirinya negara bangsa (nation state) pasca-Perang Dunia I. Dikatakan bercorak teokrasi, karena pola kepemimpinan sangat ditentukan oleh peran kelompok-kelompok thariqah di dalam memilih seorang pemimpin. Meskipun juga sangat ditentukan oleh otoritas suku-bangsa setempat seperti Fathimiyah oleh anak keturunan Fathimah bin Muhammad di Mesir, Al Sammaniyah oleh anak keturunan Samman Khuda di Samarkand, dan sebagainya. Dalam catatan Iskak Wijaya tidak kurang dari 200 suku-bangsa yang mendirikan kedaulatan sendiri-sendiri. Termasuk, anak keturunan Osman Beik (1299-1324 Masehi) dengan atas nama Dinasti Utsmaniyah Turki.
Ciri-ciri kepemimpinan pada masa dinasti ini ditandai dengan peran ahli agama (thariqah) yang berpengaruh pada pemilihan seorang pemimpin, baik bergelar sultan, raja (malik), maupun khalifah.
Periode 1924-sekarang (Sistem Nation State)
Perang Dunia I (1914-1918 Masehi) yang menyeret Kesultanan Turki Utsmani melawan negara-negara sekutu Eropa telah menandai Hadarat Al Islam menjadi negara-negara bagian kecil dengan atas nama “nation state”. Pada tanggal 3 Maret 1924, Kemal Attaturk mengambil alih kekuasaan Sultan Turki dan menjadikan negara Republik Turki.
Wajah Hadarat Al Islam dalam bentuk kerajaan (Mamlukiyah) atau kesultanan bertahan hingga Perang Dunia II (1939-1945 Masehi) selesai. Ciri-ciri administrasi dan birokasi sangat menonjol meskipun negara-negara dalam bentuk kerajaan, kesultanan, keamiran, keimaman, maupun republik. Sebagaimana Kerjaan Arab Saudi, Kesultanan Brunei Darussalam, Amir Emirat Arab, Keimaman Iran, atau Republik Indonesia. Pada masa ini, peran thariqah mulai jauh berkurang karena tuduhan sebab-sebab kemunduran.
Cirebon, 15 April 2022.