Bejaten-Net26.id Masa-masa transisi pemerintahan dan gejolak politik turut berpengaruh di Pesantren Bejaten. Masa yang sering disebut sebagai Masa Revolusi. Mulai sejak Pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pergerakan di Bejaten
Atas usaha KHA Wahid Hasyim dan KH Mahfudz Siddiq, Pemerintah Jepang akhirnya memberi izin untuk melatih parasantri di bidang militer. Di samping, kebutuhan dan kepentingan Jepang di dalam menghadapi Perang Pasifik.

Belum diketahui secara langsung keterlibatan KH Abdullah Umar pada perubahan situasi politik ini. Yang diketahui kemudian, KH Abdullah Umar telah menanggalkan gelar “Raden” kebangsawanannya dan mendirikan pesantren di Bejaten.
Namun demikian, melihat hubungan emosional KH Abdullah Umar dengan gurunya, KH Zainuddin Mojosari, begitu erat, maka gerakan politiknya terejawantah dan dapat dilihat dari sosok putera keempatnya, KHM Zainuddin.
Sebelum benar-benar matang dalam meneruskan perjuangan ayahnya di Pesantren Bejaten, KHM Zainuddin cukup lama melanglang buana di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Dengan bekal ilmu yang didapat dari ayahnya, ia bertabarukan dari pesantren ke pesantren dengan tujuan untuk “memperbanyak guru”. Jejak perjalanan KHM Zainuddin diterangkan oleh KH Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek), kalau KHM Zainuddin pernah singgah di Pesantren Plosomojo dan Pesantren “Maunah Sari” Bandar Kidul Kediri. Ketika di Pesantren Ploso, KHM Zainuddin diceritakan sebagai pembawa acara (MC) pada pernikahan KH Zainuddin Djazuli. “Abahmu tau nang kene,” terang Gus Miek kepada Kiai Atiq Zen, seraya menunjuk Pesantren Bandar Kidul.
Jawa Timur adalah kaki, Jawa Tengah adalah perut, Jawa Barat adalah kepala. Demikian, ungkapan orang-orang zaman dahulu. Kalau ingin bergerak, bergeraklah dari Jawa Timur. Kalau ingin sehat dan stabil, bergeraklah di Jawa Tengah. Kalau ingin mengatur strategi dan mendalami sufistivikasi, bergeraklah di Jawa Barat. “Jawa Tengah itu jadi barometer, kalau perutnya sakit, maka semua akan ikut sakit. Kaki bisa kaku, sementara kepala bisa pusing,” ungkap KHA Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam salah satu ceramahnya.
Pada masa Jepang, atas upaya KHA Wahid Hasyim dan KH Mahfudz Siddiq, banyak kalangan pesantren yang kemudian memperoleh pendidikan militer di Cibarusah. Diantaranya adalah KH Munawir Syadzali (Menteri Agama) dan KH Munasir Mojokerto. KHM Zainuddin atas dorongan kiai-kiai sepuh di Salatiga kemudian diikutsertakan pada pendidikan militer yang dikenal dengan sebutan Heiho itu. Karir militernya cukup cemerlang, namun dengan dikumandangkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, ia lebih memilih pulang ke Bejaten. Terutama, ketika sedang terjadi resistensi ideologi (PKI dan NII), serta friksi-friksi yang timbul di tubuh TNI sendiri. Ada banyak kiai pesantren yang pernah mengikuti pelatihan militer zaman Jepang tidak terdaftar sebagai tentara resmi karena tidak memiliki ijazah lulusan sekolah Belanda.

Kembali ke Pesantren
Tanggung jawabnya sebagai “kepala keluarga”, karena kakak iparnya, KH Affandi, sudah hijrah ke Ambarawa, adik-adiknya yang masih membutuhkan biaya, serta ibunya, Nyai Hj Umi Solihah, yang tidak cakap mengelola ekonomi keluarga, memaksa KHM Zainuddin meninggalkan karir militernya dan berkonsentrasi di pesantren. “Aku menyang mondok nang Watucongol disangoni Mbah Zainuddin,” ungkap KHM Mahfudz di Tegaron. Namun, bukan berarti aktivitas organisasinya berhenti. Pendirian Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 serta perubahan organisasi menjadi partai (PNU) pada 1953 turut mewarnai jejak sejarah KHM Zainuddin. Pengalaman pendidikannya di Cibarusah menjadikannya ahli strategi, khususnya bagi keluarga. Dia sudah mengatur dengan matang. Adik-adiknya disuruh pergi mesantren. Sementara dirinya, atas bimbingan kiai-kiai sepuh di Salatiga, menjadi kader terbaik Partai NU hingga mendapat kesempatan menjadi Ketua DPRD GR Kabupaten Semarang.

Resistensi ideologi yang diciptakan oleh “tangan-tangan bayangan” telah mendorong PKI bersikap agresif dengan melakukan beberapa propaganda dan pemberontakan. PKI yang mendirikan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) diimbangi oleh PNU dengan mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi). Begitu pula, ketika PKI mendirikan Barisan Tani Indonesia (BTI), PNU pun mendirikan Persatuan Tani Indonesia (Pertanu). Bersama KHM Mahfudz, KHM Abdillah, Kiai Moh Ishom, dan KHA Zahruddin Syambasi, KHM Zainuddin membentuk Lesbumi di Salatiga. Sementara dua keponakan istrinya, Mochammad Mu’tashim Billah dikaderkan di Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Universitas Kristen Satyalancana dan Matori Abdul Djalil dikaderkan di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Di kemudian hari, MM Billah mendapat posisi di Komnas HAM sementara Matori Abdul Djalil menjadi Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Menteri Pertahanan.

Aktivitas di dalam organisasi dan politik cukup melelahkan KHM Zainuddin sehingga tak berumur panjang. Ia wafat ketika putera puterinya belum semuanya beranjak dewasa. Tapi, ia telah berhasil membagikan tugas tugas yang bersifat kaderisasi kepada adik adik dan keponakan keponakannya. Termasuk, peninggalan peninggalan madrasah yang didirikan olehnya selama di NU. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mempersiapkan kader kadernya.