Dari data Badan Pertanahan Nasional mungkin dapat dilacak sejarah tanah di Desa Bejaten.
Periode Rintisan (…-1937)
Desa Bejaten mulai dibuka diperkirakan pada abad ke-19 ketika terjadi geger Keraton Surakarta yang dipicu oleh berbagai gelombang politik, terutama tuntutan Adipati Mangkunegara atas wilayah kekuasaannya. Disusul kemudian perlawanan Pangeran Dipanegara dan Nyi Ageng Serang yang memakan waktu lama di wilayah Magelang, Salatiga, Semarang, dan Boyolali.
Raden Surawijaya adalah sosok penting terbukanya wilayah Bejaten yang meliputi Mranggen, Bejaten, Giling, Padaan, hingga Kauman. Setelah Raden Surawijaya menikahkan KH Hasan Munawar dan puterinya, maka babak Bejaten sebagai desa pesantren baru dimulai. Pada periode ini, dualisme kepemimpinan Raden Surawijaya dan putera menantunya, KH Hasan Munawar, menjadi cikal tatanan pesantren pada masa-masa berikutnya.
Kepulangan KH Abdullah Umar (1895-1937) dari mesantren di Mekah telah mengambil peranan penting dari pola kepemimpinan kakek dan ayahnya. Ia merenovasi masjid, sumber air, dan membuka pengajian-pengajian kitab kuning secara intensif selayaknya pesantren-pesantren salaf di Pulau Jawa. Tidak ada nama pesantren secara administratif, sama halnya seperti Pesantren Tebuireng, Pesantren Ploso, Pesantren Tegalrejo, dan lain-lain. Pesantren, meskipun memasuki masa Undang Undang Ordonansi dari Belanda tapi tidak sedikit yang terdata oleh Pemerintah Hindia Belanda, karena menjadi ajang perlawanan. Demikian, Pesantren Bejaten hanya sebatas nama seperti pesantren-pesantren lainnya hingga masa KHM Abdillah mendirikan yayasan.
Periode Transisi dan Kaderisasi (1937-2019)
Pola kepemimpinan pesantren di Bejaten menggunakan model imamah. Artinya, imam masjid adalah pemimpin pesantren. Model kepemimpinan ini umum berlaku di pesantren-pesantren di Pulau Jawa, kecuali Pesantren Tebuireng. Meskipun, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari seorang yang alim, tetapi dalam hal imam sholat, ia memberi jadwal bergilir bagi santri-santri seniornya untuk mengimami sholat, terutama santri yang fasih dan hapal Al Quran. Begitu pula, pada aspek aspek kepemimpinan lain seperti thariqah dipasrahkan kepada santrinya, KH Adlan Aly, dan kepemimpinan madrasah kepada KHA Wahid Hasyim dan KH Mahfudz Siddiq.
Setelah KH Abdullah Umar wafat, proses transmisi dan tradisi sedikit berubah di Pesantren Bejaten. Hal ini terlihat ketika KH Affandi mengambil alih sementara kepemimpinan, karena KHM Zainuddin dan adik-adiknya belum beranjak dewasa. Sementara KHA Zainal Abidin, kakaknya, sudah menikah dan hijrah ke Candirejo, Kecamatan Tuntang.
Kedekatan KH Affandi dan KHM Zainuddin tidak sekadar hubungan kakak dan adik ipar. Suami Hj Naimah binti KH Abdullah Umar tersebut sekaligus menjadi guru KHM Zainuddin. Pernah, KHM Zainuddin suatu ketika mengikuti kakak iparnya ke Ambarawa untuk belajar mengaji.
Kelebihan yang dimiliki KHM Zainuddin adalah sosok yang tidak pernah diam. Selain suka lelaku dan kemampuan diplomasinya dari pesantren ke pesantren, ia memang seperti dipersiapkan oleh kiai kiai di Salatiga sebagai sosok pemimpin.
Ia sempat menjadi Ketua DPRD GR Kabupaten Semarang karena terjadi peristiwa pembubaran Konstituante (dewan hasil Pemilu 1955) pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Dekrit Presiden sehingga ia “kejatuhan duren runtuh” untuk duduk di kursi DPRD GR. Tapi, sebagai sosok yang menonjol karena langka pada zamannya, maka KHM Zainuddin sebagai sosok organisatoris memang diperhitungkan. Apalagi NU setelah menjadi Partai Nahdlatul Ulama (PNU) memiliki tingkat resistensi yang tinggi karena keluar dari Partai Masyumi. Dengan demikian, persaingan politik pada masa itu tidak hanya berhadapan dengan PKI yang cenderung agresif, melainkan pula terhadap Partai Masyumi. Komunikasi dan hubungan KHM Zainuddin dengan pimpinan PKI Kabupaten Semarang pada saat itu terjalin baik sebagai sama sama anggota DPRD GR.
KHM Zainuddin wafat pada 1969, ketika puteri ragilnya, Umi Kulsum, lahir. Ia tahu, saudaranya banyak dan harus berbagi wewenang dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Kiprahnya di organisasi dan partai politik, apalagi pernah mendapatkan pelatihan militer, dapat melihat masa depan dan jangkauan yang luas.
Dalem Kasepuhan Lor sebagai rumah pusaka peninggalan KH Abdullah Umar memang dipersiapkan untuk pemangku agama dengan otoritas sebagai ulama. Maka, tidak heran, jika kemudian KHM Zainuddin dengan sungguh sungguh memondokkan adiknya, KHM Abdillah, hingga menjadi benar benar alim.
Sementara Dalem Kasepuhan Wetan yang didirikannya seperti dipersiapkan untuk langkah langkah strategis perjuangan Pesantren Bejaten dalam pergerakan dan bersifat eksekutif.
Hal ini tidak heran, karena merupakan konsep umum di kalangan kiai, terutama di Jawa Tengah. Di atas makam KRT Nitinagara (Raden Ahmad) Gogodalem, terdapat makam ulama Al Quran, Syekh Jamaluddin. Makam Mbah Wali Nyatnyono (Hasan Munadi) sebagai ulama dan puteranya, Hasan Dipuro, sebagai pejabat eksekutif negara. Serta, makam Syekh Mutamakkin sebagai ulama dan makam RM Rangga sebagai pejabat eksekutif. Ciri ciri dualisme kepemimpinan ulama ini yang dipakai oleh PBNU melalui Rois Syuriah yang memegang kebijakan dan Tanfidziyah sebagai pejabat eksekutif.
Periodisasi Kepemimpinan Kolektif (2019-….)
Dalam organisasi atau lembaga yang besar, pola kepemimpinan tersebut memang tidak tunggal. Duet kepemimpinan KH Zaenal Muttaqien dan KHM Abdillah fokus pada pesantren dan pemerintahan desa. Keterlibatan di organisasi dan partai politik tidak seintensif seperti pada masa KHM Zainuddin. Hal ini wajar mengingat peran politik NU dikancah nasional sedang surut pada masa Orde Baru.
Maka, jika mengaca kepada pola kepemimpinan di Pesantren Tebuireng dan Pesantren Ploso, akan tampak sekali perbedaan perbedaan. Kepemimpinan Pak Ud (KHM Yusuf Hasyim) bersifat eksekutif dan leluasa berpolitik. Sementara kepemimpinan pesantren, Pak Ud membentuk sebuah organisasi dewan masyayikh. Sehingga politik dan Kepesantrenan tetap berjalan seimbang. Berbeda dengan pola kepemimpinan Pesantren Ploso, ketika ditinggal wafat KH Djazuli Usman, semua putera puterinya membentuk dewan masyayikh. Sehingga peran peran politik Pesantren Ploso sangat jauh berkurang. Hanya terkonsentrasi pada pesantren.
Seperti Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) berkata, “Pesantren akan tumbuh alami. Tidak perlu di-grow up secara berlebihan.” Pesantren akan menemukan sendiri bentuknya.
Hal ini tampak setelah KH Zaenal Muttaqien dan KHM Abdillah wafat. Kepemimpinan kolektif hadir secara alami di Pesantren Bejaten. KH Afifuddin, KHM Adib Zen, KH Muhammad Hasyim, dan KHM Abdul Halim membentuk sebuah kepemimpinan kolektif secara alami. Sementara kepemimpinan eksekutif tampak pada diri Salafuddin Rofiq yang didukung oleh KHM Abdillah dan keluarga Bani Abdullah Umar, karena dianggap telah mewarisi watak, karakter, dan kepemimpinan KHM Zainuddin. Wallahul Musta’an.