Cerita ini disampaikan oleh Abah Imron, santri pesantren yang aktif pada kedalaman tarekat PETA di Tulungagung, Jawa Timur. PETA atau Pesulukan Thoriqoh Agung tersebut didirikan oleh Syekh Mustaqim bin Muhammad Husein (1901-1970) sebagai pusat penyebaran tiga tarekat besar: Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah di bagian selatan timur pulau Jawa. Tarekat jalur Syekh Abdul Mustaqim ini kini telah menyebar luas ke berbagai tempat dan daerah, baik di pulau Jawa sendiri maupun luar Jawa.
Keinginanku hendak datang ke lapak Beliau sudah lama terpendam. Tapi, masih terhalang karena faktor cuaca yang tak mendukung, hampir tiap malam Kota Surabaya diguyur hujan.
Seperti anak yang kangen pada dongeng orang-orang terdahulu, aku pun merasa terobsesi khususnya pada kisah spiritual Mbah Man.
Sebenarnya kemarin-kemarin ada keinginan untuk ber-“pod cast” dengan Beliau lalu di-“upload” di channel youtube #AbahImron, tapi ternyata “headset” tertinggal di rumah.
Mbah Man membuka kisahnya, “Aku biyen tahu ngalami eroh sembarang kalir termasuk alam jin.” (Aku dulu pernah mengalami tahu segala hal termasuk alam jin).
Suatu hari, ada temannya di Gresik bercerita pada Mbah Man kalau tiap malam selalu diperlihatkan sebuah peti yang berisi lantakan emas dan berlian di sebuah rumah. Tidak hanya sekali diperlihatkan, bahkan setiap hari ditampakkan.
Sang teman tadi bilang kepada Mbah Man, “Lek, iki, kok, ngetoi terus, opo iki?” (Paman, ini, kok, tampak terus, apa ini?).
Mbah Man pun kemudian beriyadah dan memang benar di sana tersimpan peti yang berisi perhiasan, tapi ini milik penghuni Pantai Selatan.
Di lubuk hati Mbah Man terlihat kemilau harta dunia seakan ingin sekali memilikinya. Tiba pada suatu hari, ritual dan misi penarikan pun dijalankan hingga sampai sedikit melupakan kebiasaan yang sudah dilaksanakan secara rutin, khususiyah Kamis malam.
Dan, malam itu, Mbah Man berangkat khususiyah agak terlambat. Ia berjumpa dengan Mbah Man (Kedung Rukem) dan langsung ditegur, “Lapo telat? terusno yo opo seng mbok lakoni, lali koen ambek PETA?” (Kenapa telat? Teruskan apa yang engkau kerjakan, kau lupa pada PETA?).
Seakan Mbah Man (Kedung Rukem) tahu yang sedang dijalani oleh Mbah Man.
Mbah Man bercerita, kalau melaksanakan Thoriqoh Syaziliyah Pondok PETA iku biasane ‘ga di wawo ambek dunyo’ tapi ga popo pokok sek diwawo ambek Gusti Allah. dungo ae. (Kalau melaksanakan thoriqoh Syadziliyah Pondok PETA itu biasanya tidak diberi kemudahan dunia, tapi tidak apa-apa asal diberi kemudahan Gusti Allah. Berdoa saja).
“Ya Allah Paringi Sabar lan Kuat” Lillahi Ta’ala. (Ya Allah berilah kesabaran dan kuat karenaMu). Al-Fatihah.
Mbah Man adalah sapaan akrab Bapak Suparman. Orang yang biasa mengisi hari-hari kami.
Dia, santri Pondok Pesantren Pesulukan Thoriqoh Agung (PETA) Tulungagung. Kerja hariannya menjual Tahu Tek di sekitaran Bendul Merisi. Tiap malam, setiap bakda Isya, dia biasa mangkal di depan “Warung Kopi Podo Mampir”, milik kami.
Mbah Man adalah imam “khususiyah” titik Kedondong di Surabaya. Dalam rehat setelah melayani penjual di pertemuan kemarin, saya tanya awal mula dirinya nyantri di PETA.
Ia bercerita, sebelum masuk ke PETA, Beliau terlebih dahulu pernah mesantren di pondok Ashshidiqiyah Yai Tar, Jombang. Ia beberapa tahun mengamalkan wiridan yang diajarkan oleh pesantren Ashshidiqiyah itu hingga bersama beberapa temannya sempat berkeling ke musholla-musholla atau masjid-mashid untuk mengajak bersama-sama mengenal Allah.
Sampai akhirnya di suatu hari bertemulah Beliau dengan Pak De Chasbullah, Wonokromo, teman Mbah Man dari Kedungrukem.
Pak De Chasbullah ini telah lebih dahulu nyantri di PETA yang pada masa itu masih diasuh oleh Kyai Mustaqim. Ketika melihat Mbah Man yang membaca wirid panjang sekali, Pak De Chasbullah pun nyeletuk, ‘Wiridmu, kok, cek dowone? Wes ngene ae, mene melok aku nak Tulungagung.” Awal sebuah perkenalan antara Mbah Man dan pondok PETA.
Singkat cerita, Mbah Man akhirnya mengamalkan ijazah yang diberikan oleh pondok PETA, berupa sholawat Ashfa’. Seperti biasa, keimanan seseorang itu terkadang bertambah, terkadang berkurang, kerena kesibukannya dalam bekerja.
Mbah Man lama tidak mengamalkan wirid sholawat Ashfa’ itu sehingga dalam suatu riyadah tiba-tiba seakan-akan tubuhnya terangkat ke atas. Seperti terbang tinggi dan terus meninggi dalam penglihatannya. Hingga akhirnya, ia seperti diturunkan di daerah Wonokromo. Mbah Man seperti diingatkan oleh Pak De Chasbullah agar jangan melupakan atau tidak mengamalkan wiridan yang telah diberikan oleh pondok PETA itu. Sejak kejadian itu, sesibuk apapun Mbah Man pasti mengamalkan sholawat Ashfa’itu.
Diceritakan dari Mbah Man, santri PETA yang menjalankan usaha dagang Tahu Tek di Surabaya; waktu Kyai Mustaqim meninggal dunia, Mbah Man tak dapat turut “hormat”, mengantarkan jenazah ke pembaringan terakhirnya, karena kesibukan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkannya. Menjelang 7 hari dari kepergian sang kyai, barulah Mbah Man bisa datang ke Tulungagung.
Seperti biasa bagi kami sebelum melaksanakan “khususiyah”, kami “jandon'” (bicara apa saja), “ngalor ngidul”, kadang tentang pekerjaan masing-masing, keluarga, bahkan ritual riyadah yang sudah dijalani.
Mbah Man bercerita, pernah suatu kali, Kyai Mustaqim “dawuh”, “Sesok, kuburan muridku sak pendelenge moto lan sak jerone bumi” (besok, kuburan muridku sejauh pandangan mata dan sedalam bumi).
Dalam hatinya, Mbah Man ‘ngerentek’, ragu, “Mosok iyo?”; melihat pada masa itu tidak seberapa banyak murid yang ada di PETA. Tiba waktu “khususiyah”, di perjalanan, tiba-tiba ia dperlihatkan sehampar tanah yang luas sekali, banyak pohon Kamboja di sana dan ada sosok sang Kyai, Kyai Mustaqim yang sedang berdiri seakan menjawab keraguan Mbah Man atas “dawuh” sang kyai.
Sejak kejadian itu, apapun yang diperintahkan atau dawuh-dawuh yang datang dari mursyid PETA, Mbah Man “sami’na wa atho’na”. Mbah Man kemudian melanjutkan ceritanya tentang sosok Pakde Chasbullah.
Pakde pernah suatu kali diperintah oleh Kyai Djalil (mursyid pengganti Kyai Mustaqim), “Chas, ngamaro nak Rumah Sakit dr. Soetomo.” (Chas, masuklah ke Rumah Sakit dr Soetomo).
Pakde sempat bingung waktu itu, “Aku ga loro ga opo, kok, dikon ngamar nak omah sakit?” (Aku tidak sakit, tidak merasakan apapun, kok, disuruh masuk rumah sakit?). Tapi, karena perintah dari sang mursyid, pantang baginya, murid PETA, tidak melaksanaknnya.
Singkat cerita, Pakde Chasbullah mendapat tempat di RS dr. Soetomo, diperiksa oleh seorang dokter yang selain pintar masalah kedokteran juga mempunyai kelebihan, istilahnya “waskita”.
Sang dokter bilang, “Selama saya menangani pasien tidak pernah menjumpai seperti apa yang saya lihat di tubuh ‘njenengan’, ada guratan warna warni dalam hati pean memanjang sampai ke langit.”
Pakde Chasbullah diam saja atas pernyataan sang dokter. terpikirkan olehnya, “Oooh, ini mungkin ‘sirri’ atau rahasia dari ‘dawuh’ agar membiasakan zikir Allah Allah dalam hati.”
“Terima kasih Mbah Man atas ceritanya. Semoga sehat selalu, dilancarkan usaha tahu Teknya dan semoga ada dari keturunanmu yang mengikuti jejak langkah kabajikan ini!” pungkas Abah Imron.