Sekadar menyebut nama ketiganya jadi teringat pada trio aktor Bom Bali I yang menghebohkan jagad di tahun 2002 dulu. Ketiga nama tersebut berasal dari desa yang bertetangga dengan desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Desa para gembong teroris yang berdekatan dengan desa Payaman, Solokuro, Lamongan.
Saat masih ramai-ramainya peristiwa pengeboman tersebut, salah satu dari mereka berkunjung ke Bali. Sesampai di pelabuhan Ketapang, ada pemeriksaan oleh para petugas. Ketika ia diminta untuk menunjukkan identitas, dengan cerdik yang diberikan adalah kartu identitas santri, bukan kartu tanda penduduk. Kecerdikan yang membuatnya lolos dari interograsi dan bisa masuk ke Bali. Padahal, jika menunjukkan KTP asli kemungkinan akan ikut terciduk, karena satu daerah, ditambah lagi dengan ciri-ciri yang agak mirip, tumbuh rambut di dagu.
Ketiganya memulai nyantri di Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng selepas SMP tahun 1997, pesantren yang mereka sebut sebagai serpihan surga, karena di sana mereka bisa mandi sepuasnya. Maklum, karena di daerah asal mereka, air sangatlah langka. Sebuah ungkapan yang sering juga diutarakan oleh sebagian santri asal Gresik lainnya.
Turhan Badri, menyelesaikan hafalannya lebih cepat dari kedua rekannya. Ia diwisuda hafiz tahun 2001, kuliah di jurusan Mu’amalah IInstitut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), kemudian melanjutkan ke jenjang Magister di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang ditempuhnya ketika masih menjadi pengurus Majlis Tarbiyah wat Ta’lim (MTT/pengurus pesantren). Walhasil, ia harus bolak balik jarak tempuh Malang-Jombang.
Suara Turhan Badri terbilang ringan, renyah, dan fasih. Ketika ia mengaji telah membuat al-Marhum K.H. Mashum Zubaidi kepincut. Sehingga membuat Kyai Al-Quran kharismatik asal Kota Pasuruan itu berminat untuk menjadikannya menantu. Dan sekarang, bersama putera-puteri Beliau, Turhan Badri menjadi pengelola Pesantren Ta’limil Quran Kota Pasuruan beserta lembaga-lembaga di bawah naungannya. Namanya di Pasuruan berubah menjadi Gus Farhan Badri. Kesibukan sehari-hari lainnya, ia diangkat menjadi Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pasuruan.
Nama yang kedua adalah Ali Manshur. Ia menyelesaikan hafalannya tahun 2002 dan diwisuda hafiz edisi tahun itu juga. Ia mempunyai dua gelar sarjana, karena kuliah dengan “twin program”, sarjana hukum sekaligus sarjana pendidikan.
Ali Manshur pernah menjadi bagian dari BPRS Lantabur, Bank kebanggaan Pondok Pesantren MQ Tebuireng. Ia berkarir dari nol hingga menjadi kepala kantor. Ketika berada dipuncak karirnya, ia memutuskan keluar, mencari pengalaman baru, berwirausaha. Kini, ia menggeluti bisnis telur bebek sekaligus tetap mengabdi di bidang Al-Qur’an sebagai pengajar di beberapa lembaga, menjadi pengurus Jam’iyyah Qurra wal Huffadh Nahdlatul Ulama (JQHNU) dan aktif di majlis khotmil Qur’an wilayah Sidoarjo.
Adapun nama yang ketiga adalah Nuril Huda. Ia diwisudah hafiz tahun 2003. tipikalnya seperti orang yang kuat kemauan; langkahnya jauh melebihi kedua rekannya. Selepas dari MQ Tebuireng, ia mengembara ke negeri jiran, Malaysia, selama kurang lebih hampir sepuluh tahun.
Kini, ia sudah kembali ke kampung halaman, berwirausaha, sekaligus mengamalkan ilmu dari pesantren.
Selama di pesantren, ketiga nama tersebut seringkali mendapatkan amanah dari Kyai menjadi keamanan pondok. Amanah yang berat dan bertujuan untuk menegakkan peraturan pesantren, sekaligus menjadi santri yang paling banyak dimusuhi oleh santri-santri lainnya. Meskipun banyak pula yang mencintai mereka. Pengalaman sebagai keamanan pesantren tersebut telah membentuk pribadi menjadi tangguh, sekadar bekal untuk hidup di masyarakat di kemudian hari.
Kini, mereka berjauhan, berkiprah di medan pengabdian masing-masing, siap menjadi manusia “anfauhum linnas”.