Setiap pesantren memiliki kitab unggulan. Tidak ada kitab, maka tidak ada pesantren. Bandingkan dengan masa pramuslim di Jawa, budaya Indus sudah melahirkan parakawa yang membaca kitab kitab berbahasa Kawi, yang mengajarkan tuntunan Weda dan Sutra.
Tidak semua pesantren mengampu atau mewiridkan kitab kitab besar seperti Sahih Al Bukhari, Sahih Muslim, atau Ihya Ulumiddin. Di Pesantren Tebuireng, K.H. Adlan Aly senantiasa mengkhatamkan dan mewiridkan kitab fiqh Fath Al Qarib (Al Taqrib). Karena sering diwiridkan, maka setiap membahas bab al istisqa‘ (sholat meminta hujan), karamah Kiai Adlan sering muncul, langit pun mendung dan turun hujan. Di Pesantren Fathul Ulum, Kwagean, Kediri, kitab Khazinatul Asrar juga menjadi bahan wiridan. Sebuah kitab “metafisika” dan rahasia rahasia astronomis. Sementara Pesantren Petuk, Kediri, sejak zaman dahulu telah membuat dan menerbitkan terjemahan kitab kitab kuning dengan menggunakan aksara Pegon.
Spesialisasi pada satu kitab tersebut, di samping menjadi identitas pesantren, dapat pula menjadi representasi kekiaian pengasuhnya. Dan, bagi santri santri dari pesantren lain dapat menjadi rujukan dan pilihan untuk memperdalam materi tertentu. Atau, sekadar memperbanyak guru dan ngalab berkah. Karena, setiap kiai memiliki fan atau spesialisasi sendiri sendiri. Jadi, bukan dokter saja yang punya spesialisasi. Kiai pun punya. Maka, tidak jarang, jika disebutkan ada orang ingin belajar tarekat dianjurkan pergi Pesantren PETA di Tulungagung. Atau, Pesantren Mranggen di Demak. Untuk mendapatkan ijazah (wewenang mengamalkan) kitab Dalail Al Khairat, seorang santri dulu dianjurkan mengaji kepada Mbah Bashir, Jekulo, Kudus. Seseorang yang ingin memperdalam tarekat Syattariyah dianjurkan pergi ke Pesantren Buntet, Cirebon. Demikian bervariasi pesantren pesantren di Indonesia.
Kendati demikian, setiap pesantren memiliki standarisasi pendidikan dasar di bidang Al Quran dan fiqh. Meskipun, kitab yang digunakan berbeda beda seperti Fath Al Qarib, Fath Al Mu’in, atau Safinah Al Najah. Ada banyak pilihan. Begitu pula, meskipun sang kiai memiliki spesialisasi kitab tertentu bukan berarti tidak menguasai kitab kitab pada bidang yang lain. Kitab utama sebagai pegangan pokok sang kiai memang mesti ada.