Pertanyaan ini perlu dikaji. Apa dasarnya dan bagaimana argumentasinya jika Mbah Hasyim (Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari, 1871-1947) seorang pengamal thariqah Al Syadziliyah?
Seorang pengamal salah satu thariqah itu sebenarnya mudah dititeni, mudah dilihat, dari amalan-amalan yang didawamkan atau diwazifahkan oleh pengamalnya. Dari amalan-amalan tersebut, seseorang bisa dilihat apa thariqahnya. Jika dia hanya mengamalkan amalan-amalan biasa saja secara rutin seperti rukun Islam yang lima tanpa ada bimbingan khusus, maka dia termasuk kategori pengamal thariqah umum atau thariqah awam. Namun, jika dia serius mengamalkan thariqah secara khusus dengan bimbingan guru yang khusus pula, maka ia termasuk pengamal thariqah khusus atau “khas”.
Kaya Perspektif
Berbicara tentang thariqah akan memperkaya perspektif di dalam keberagamaan seorang muslim. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengantar khusus. Orang yang memberi stempel: thariqah itu sesat, karena ia masih minim perspektif. Minim pengalaman dan gampang mengambil kesimpulan. Dan, orang yang gampang mengambil kesimpulan itu biasanya pencipta kebodohan. Dinamika thariqah itu sangat luas, tidak mudah dibuat kesimpulan. Kalaupun harus dibuat kesimpulan, seorang mukmin akan sangat hati-hati untuk menjelaskannya. Maka, tidak heran, jika kemudian pelaku thariqah akan menggunakan bahasa-bahasa simbolik di dalam mengungkapkan isi hatinya.
Begitu pula Mbah Hasyim, sangat menyadari situasi sosial pada masanya. Tidak saja mulai bermunculan ideologi-ideologi politik seperti ideologi Islam yang diusung oleh HOS Tjokroaminoto beserta murid-muridnya, ideologi komunis yang diusung oleh Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet (1883–1942) yang diteruskan oleh murid-muridnya seperti Darsono dan seterusnya, serta ideologi liberal yang diusung oleh Herman Willem Daendels (1762-1818 Masehi) kemudian Thomas Stamford Raffles (1761-1826 Masehi), Mbah Hasyim sendiri sedang menghadapi situasi umat Islam dalam perbedaan tajam antara aqidah dan fiqhiyah karena sedang terjadi perubahan politik di Arab Saudi dari Syarif Husein bin Ali (1853-1931 Masehi) kepada Muhammad ibn Saud (1710-1765 Masehi) yang bekerja sama dengan Muhammad bin Abdil Wahab (1703-1792 Masehi) dalam menyebarkan paham ideologis Wahabi-Salafi-Sunnah bagi tegaknya Kerajaan Saudi Arabia.
Di dalam tulisannya, Risalah Ahlu Al Sunnah wa Al Jama’ah, Mbah Hasyim ada menyebut;
ثم إنه حدث في عام ألف وثلاثمائة وثلاثين أحزاب متنوعة، وآراء متدافعة، واقوال متضاربة، ورجال متجاذبة. (حضرة الشيخ محمد هاشم أشعري، رسالة أهل السنة والجماعة،
Kemudian pada tahun 1330 H, muncul beragam kelompok dengan paham yang berlawanan, pendapat yang berseberangan, dan orang-orang yang berselisih paham.
Selanjutnya, dijelaskan; umat Islam di tanah Jawa pada mulanya menganut paham yang sama, Imam Al Syafi’i atau Mazhab Syafi’i dalam bidang Fiqih, Imam Al Asy’ari dalam bidang Ushul Al Din, dan Imam Al Ghazali (wafat 1111 Masehi) serta Imam Abu Al Hasan Al Syadzili (1196-1258 Masehi) dalam bidang Tasawuf.
Secara eksplisit, Mbah Hasyim di sini mendaku dirinya seorang Syadzilian, pengamal thariqah Al Syadziliyah.
Hanya saja, yang perlu diteliti selanjutnya adalah mengapa di dalam Qanun Asasi NU, tidak disebutkan Imam Abu Al Hasan Al Syadzili tersebut dan malah Imam Al Junaid Al Baghdadi (830-910 Masehi)?
Kitab Ihya Ulum Al Din
Kitab Ihya Ulum Al Din karya Imam Al Ghazali cukup representatif di dalam menjelaskan kitab suci Al Quran. Dan, bisa dikatakan Kitab Ihya adalah Al Quran kedua bila ditinjau dari segi susastra karena mampu membuat kesimpulan yang monumental. Hampir semua ulama-ulama tafsir, fiqh, aqidah (Kalam) di bawah bendera Ahlussunah wal Jama’ah mengakui keunggulan kitab tersebut di samping menjadikannya sumber utama referensi. Tidak sedikit di kemudian hari, kitab tersebut diulas secara panjang lebar oleh ulama-ulama berikutnya, terutama ulama-ulama thariqah yang menekuni dunia tasawuf.
Pada masa sebelum Imam Al Ghazali, tasawuf atau thariqah berdiri sendiri dari fiqh, bahkan tidak jarang terjadi polemik di antara keduanya. Pelaku-pelaku thariqah dengan keyakinannya lebih mementingkan makna-makna batin daripada makna lahir. Sebaliknya, ulama-ulama fiqh lebih mementingkan makna-makna lahir daripada makna-makna batin. Di tangan Al Ghazali, antara makna batin dan makna lahir bisa didamaikan melalui jalur filosofis atau filsafat seperti muncul prinsip-prinsip syari’at yang lima atau maqashid al syari’ah (مقاصد الشريعة). Sebelum hukum (fiqh) ditetapkan terlebih dahulu dilihat maksud dan tujuan hukum tersebut.
Lalu, mengapa Mbah Hasyim menyebutkan Imam Abu Al Hasan Al Syadzili setelah Imam Al Ghazali? Karena, di dalam thariqahnya, Imam Abu Al Hasan Al Syadzili menyandarkan thariqahnya kepada kitab Ihya tersebut.
Demikian, hubungan Mbah Hasyim dan thariqah Al Syadziliyah. Adapun hubungannya dengan thariqah-thariqah lainnya butuh pembahasan khusus.