Terlahir di kota Lubuklinggau tanggal 16 Maret 1973, Armada Simapera tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk lomba berkesenian sebagaimana Yogyakarta, Bali, atau Bandung. Ia tumbuh dalam lingkungan masyarakat populer yang hampir tidak mengenal seni dan ekspresi selain yang bersifat trendy dan tradisional.
Namun demikian, antusiasme gerak berkeseniannya terus terasah berkat tekad dan keinginan kuat. Ia melangkah setahap demi setahap menapaki bumi. Menuntut ilmu dan pengetahuan hingga jauh dari kampung halaman. Mada, demikian panggilannya, coba menerobos ketatnya seleksi masuk Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta. Gagal. Ia tak mampu menembus dan mengasah minatnya di perguruan tinggi bergengsi itu.
Mada beranjak ke kota Bandung mencari solusi untuk mengatasi keinginannya yang meledak ledak. Penggemar puisi W.S. Rendra dan musik irama blues ini mendapat oase keterpaksaan. Bandung memang bukan kota tujuan, namun sedikit memberi jalan bagi karirnya sebagai pelukis.
Perlahan ia mengekspresikan goresan goresan kuas di atas kanvas. Kembali pulang ke kampung halaman bergiat, meniti karir di jalan sunyi. Seperti tak ada tantangan, Mada membuka sanggar lukis di kota Lubuklinggau. Tidak ada perhatian yang cukup kepadanya sehingga ia terjun ke bidang ekspresi yang lain, berpolitik. Meskipun hal itu bukan cita cita, namun dapat menambah pengetahuan dirinya dalam mengenal karakter masyarakat yang telah berubah. Ia tidak menemukan idealisme, kecuali egoisme. Tempaan itu yang membuat dirinya menarik diri ke dalam kebutuhan masyarakat akan sebuah icon.
Mada memandang kanvas tidak cukup luas untuk menampung ide ide dan hasratnya berkesenian. Solusi terpenting yang ditemukan olehnya adalah batik. Kombinasi antara lukis dan batik dengan garis dasar inspirasi buah kopi dan durian. Ia membuat torehan torehan baru menggunakan canting dan malam. Warna warna mencolok menjadi pilihannya sehingga memang benar benar mengangkat popularitas dirinya. Ia mendapat kesempatan di luar jangkauan pikiran. Ia mendapat fasilitas lokasi untuk galerinya di Pasar Seni Ancol, milik Pemprov DKI Jakarta. Ia kian dikenal luas dan lingkar batas birokrasi yang menghambat. Lukisan batiknya terbaca oleh kalangan akademisi ISI Yogyakarta, tempat yang pernah menolaknya menjadi murid. Justeru, bakat dan minatnya yang menggelora untuk mewujudkan impian hadir di kota budaya tersebut.