Dalam sejarah Indonesia yang sudah dibangun sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda (PHB), komunikasi antarorganisasi umat Islam berupa federasi sudah mulai terjalin dengan dibentuknya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tanggal 18-21 September 1937. Meskipun pembentukan MIAI ini dicurigai sebagai wadah kontrol terhadap organisasi-organisasi umat Islam oleh PHB, namun sedikit banyak dapat dinilai sebagai wadah komunikasi secara positif.
Hal ini terus berlanjut dengan pendirian Majelis Syura Muslin Indonesia (Masyumi) sebagai ganti dari MIAI pada tanggal 24 Oktober 1943 yang tidak disukai oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Sejalan dengan waktu, ternyata pada tanggal 7 November 1945, Masyumi berubah bentuk menjadi partai politik. Sehingga pada masa awal Orde Baru, federasi organisasi-organisasi kaum muslimin dibentuk ulang menjadi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini proses sejarahnya, kendati pembentukan MUI ini didukung tidak hanya oleh kalangan ulama saja, melainkan juga kalangan profesional dan ABRI (waktu itu).
Dari sini, muncul pertanyaan sematan kata “ülama” pada MUI oleh sebagian dari kalangan NU; apakah kalangan profesional tersebut termasuk ulama?
Sejauh ini, terdapat 70an organisasi sosial-keagamaan yang berhimpun di dalam MUI. Banyak persoalan-persoalan yang bersifat fiqhiyah seperti Bank Syariah, sertifikasi label halal (yang dapat lebih berfungsi bagi makanan halal di negeri-negeri nonmuslim), dan persoalan-persoalan akidah mendasar bagi umat Islam agar tidak terkesan menyimpang dari kewajiban agama-agama resmi seperti keharusan adanya sebuah “kitab suci”.
Memang, kemunculan MUI menjadi sangat kontroversi di era Reformasi. Di satu sisi, MUI merupakan organisasi sosial-keagamaan sebagaimana NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Namun, hak istimewa MUI sebagai wadah komunikasi sering menimbulkan ketidaksenangan berbagai kalangan, terutama MUI dipandang sangat konservatif bila berhadapan dengan pandangan-pandangan keagamaan yang kian berkembang seperti paham liberal dalam beragama. Meskipun sebagai wadah komunikasi antarorganisasi umat Islam masih sangat dibutuhkan, terutama di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan moderasi dan ikhtilaf antarumat Islam.
Segi kemanfaatan yang dihadirkan oleh MUI kian menemukan puncak ujian manakala terdapat beberapa pengurus yang terduga terlibat di dalam gerakan terorisme. Kewibawaan MUI tergerus. Ancaman yang paling fatal adalah MUI harus dibubarkan, karena cenderung membawa kemadaratan yang lebih besar, terutama di dalam sikap kritisisme yang dibangun oleh MUI terhadap pemerintah.
Tentu, kehadiran MUI sebagai media dialog dan komunikasi memerlukan kepemimpinan yang tidak hanya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan agama (diniyah) saja, tapi lebih kepada kepentingan nasional, terutama di dalam menjaga keutuhan bangsa. Sehingga dengan kata lain dialog dan komunikasi intensif sangat diperlukan, terutama dengan pemerintah.