Sambal Pak Mukhtar
Masih ingat betul di ingatan saya,
Beliau dulu setiap pagi mengantar sambal yang dibungkus dalam kemasan kecil ke koperasi komplek depan. Semua dilakukan dengan bahagia, tersenyum selalu dihadapan para muridnya ketika berpapasan. Tidak terlihat sedikitpun malu ataupun risih di wajah beliau.
Disadari atau tidak, Secara tidak langsung beliau telah mengajarkan kepada kami bahwa hidup itu tidak melulu tentang gengsi atau kepantasan, tapi lebih kepada mulia dan tangguh bertahan hidup diatas tangan dan keringat sendiri.
Dibalik fenomena crazy rich yang kaya dan terkenal secara instan, namun akhirnya ditangkap, ilmu hidup sederhana atau dalam bahasa sufinya qonaah, memang sudah mulai punah dan jarang diterapkan. Karena dunia maya, membuat semua menjadi serba instan dan viral.
Sugeng ambal warso pak yai mukhtar.
Mugo pinaringan umur ingkang barokah lan manfaat.
-Akhi Fadli Ilmi-
Panggilannya “Pak Lathom”
Di kelas kami, ia mengajar materi Muhadatsah, conversation, selain Shorof atau Morfologi (ilmu tentang perubahan kata bahasa Arab).
Tubuhnya tinggi besar dan gempal. Kalau mengajar sangat sabar. Matanya dapat melotot, nyalang, tapi tidak kalau sudah akrab dengannya.
Tapi, kesannya, ia sangat lucu. Ia akan mempraktikkan satu “hiwar” (percakapan) dalam satu ekspresi yang dramatik. Satu persatu ditunjukkan olehnya hingga kami benar-benar faham. Termasuk, kata “lathom” itu. Lathom atau lathomah berarti menumbuk. Dengan mengepalkan tangan, Pak Mukhtar mendatangi kami satu persatu seraya bertanya materi pelajaran yang lalu. Jika di antara kami tidak ada yang bisa menjawab, ia akan berkata, “Yah opo, Cah?” dengan dialek Lamongan yang khas.
Belajar dengannya sungguh mengasyikkan. Tidak ada kesan “sangar”, meskipun tetap “nyungkani” sebagai seorang guru. Ia lulusan LPBA atau LIPIA, satu perguruan tinggi yang berafiliasi kepada Kerajaan Saudi Arabia. Orang yang lulus dengan baik dari perguruan tinggi itu biasanya akan segera dikirim ke Arab guna meneruskan tingkat pendidikan.
Sebagai lulusan LIPIA tentu kemahiran bahasa Arab Pak Mukhtar tidak diragukan lagi.
Dan, catatan yang melekat pada kami, murid-muridnya, beliau adalah guru yang bersahaja. Tanpa rasa sungkan mengajarkan berwirausaha. Setiap hari, ia datang ke pesantren dengan membawa bungkusan-bungkusan gorengan, sambal, dan lauk pauk buatan isterinya untuk dititipkan di koperasi dagang milik pesantren. Tidak merasa gengsi meskipun lulusan dari perguruan tinggi bonafit.
Pun, tidak “kemarab” atau “kearab-araban”. Ia hampir tak pernah memakai jubah atau berjanggut panjang seperti kebanyakan alumni perguruan tinggi dari negeri Arab. Setiap hari, ia mengenakan celana panjang atau memakai baju kaos di luar jam dinas mengajar. Padahal, pernah pada suatu ketika, ia merubah penampilannya dengan membiarkan kumis dan jenggotnya tumbuh “kethel”, lebat. Tapi, itu tidak lama, karena hanya sekadar mencuri perhatian publik.
Tidak terlalu banyak perhatian tertuju padanya. Kesederhanaan dan kebersahajaannya yang melekat. Di balik seragam kami, ia ingin menunjukkan identitas luar yang ragam. Menjadi muridnya sungguh sangat menggembirakan. Semoga sehat selalu, Pak Lathom.
-M. Sakdillah-