Simpang siur versi sejarah telah memunculkan kontroversi. Pada masa Orde Baru, membicarakan semua versi itu menjadi tabu, kecuali versi negara. Namun, era Reformasi telah memberi ruang baca sejarah menjadi lebih luas. Dokumen-dokumen lama bisa kembali dibuka dan ditafsirkan ulang. Dengan demikian, tafsir terhadap siapa yang paling berperan di dalam peristiwa Serangan Besar-besaran (Umum) 1 Maret 1949 misalnya kembali mengemuka, terutama setelah Pemerintah menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022 tertanggal 24 Februari 2022.
Namun demikian, untuk mengangkat “narasi”dari sebuah peristiwa sejarah tentu tidak bisa diambil dari satu sumber saja, melainkan juga melihat prakondisi yang membentuk peristiwa tersebut terjadi.
Pertama, rentang waktu antara 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949 merupakan masa penuh dengan ketidakpastian. Sebab, Belanda baru mengakui dan sepenuhnya menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia setelah upacara penyerahan oleh Belanda kepada Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
Kedua, ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, semua daerah dan wilayah di Indonesia sepenuhnya belum mengakui kemerdekaan tersebut. Muso bersama Amir Sjarifuddin (tidak puas dengan Kabinet Hatta) di Yogyakarta misalnya pada tanggal 18 September 1948 mendirikan Front Demokrasi Rakjat (FDR) yang berafiliasi kepada Rusia di Madiun. Peristiwa tersebut melibatkan beberapa partai politik atau organisasi berhaluan kiri kontra pemerintahan Republik Indonesia (RI) di bawah pimpinan Soekarno-Mohammad Hatta diantaranya Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Ketiga, faktor lain yang melingkupi peristiwa dalam rentang sejarah tersebut adalah terjadinya tarik ulur melalui perjanjian-perjanjian seperti Renville (selesai 17 Januari 1948), Roem-Royen (selesai 7 Mei 1949), Konferensi Meja Bundar/KMB (selesai 2 November 1949) dengan pihak Belanda yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Republik Indonesia. Khusus pasca-KMB, terdapat dua pemerintahan yang berlaku pada masa itu, yaitu Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Republik Indonesia. Pada masa konsolidasi ini, menurut Aboebakar Atjeh dalam bukunya, Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, dimanfaatkan oleh KHA Wahid Hasyim untuk menggalang kekuatan secara administratif antara Menteri Agama RI, Menteri Agama RIS, dan Menteri Agama Masyumi di bawah koordinasinya. Meskipun ketika itu, dualisme model pemerintahan memicu konflik antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mendukung model Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak yang mendukung RIS.
Dengan demikin, untuk membaca peristiwa yang terjadi antara 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949 tersebut, seorang sejarawan agaknya harus jeli di dalam melihat irisan-irisan peristiwa dan aktor-aktor yang berperan pada masanya sehingga akan ditemukan pemahaman utuh atas objektivitas sejarahnya.
14 Maret 2022.