Sejarah pesantren di Indonesia sama tuanya sejarah desa. Secara eksplisit, kehidupan di desa sudah tergambar dari naskah tua, Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca. Negarakertagama sendiri aslinya berjudl Desawarnana, Warna Warna Desa. Kitab Negarakertagama masih terbilang otentik bila dibandingkan dengan kitab tua lainnya, Pararaton. Kitab Pararaton sendiri masih bersifat kontroversial. Sementara Negarakertagama secara faktual telah dibuktikan melalui telusuran Nigel Bullogh, memang bercerita tentang kemakmuran desa pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Sementara itu, pesantren, secara genetik memiliki akar sejarah sejak masa pemerintahan Ratu Simha, dengan sebutan Sima. Artinya, wilayah bebas pajak. Bahkan, jauh sebelum itu, pada masa Raja Mulawarman di Kutai sudah terdapat tanah suci yang disebut Baprakesywara, tanah larangan. Tempat pararesi menunaikan ibadah mereka. Raja Mulawarman sendiri mempersembahkan ribuan ekor sapi untuk dikorbankan.
Sejarah pesantren tidak jauh dari kondisi sosial demikian. Pesantren tidak seperti kitab suci yang dibawa langsung dari negeri asalnya. Kendati kitab suci untuk dibumikan di Nusantara juga memerlukan proses pengenalan dalam masa yang tidak singkat. Sebelum dikenal umum, pesantren secara sosial merupakan kelanjutan sejarah dari Tanah Perdikan. Perdikan diambil dari kata “Merdikan” yang berarti “Merdeka”. Merdeka di sini dimaksudkan sebagai wilayah otonom dengan hukum sendiri dan tentunya bebas dari pajak kerajaan. Bebas pajak dari kerajaan ini dimaksudkan adalah sebagai penghormatan kaum kesatria terhadap kaum brahman, agamawan, yang dalam konteks masyarakat muslim dikenal dengan nama kiai, tuan guru, ungku, tengku, dan lain lain. Maka, tidak heran, jika kemudian di Desa Majan masih terdapat Hukum Adat (nikah sirri) yang masih berlaku. Karena, desa tersebut merupakan sebuah perdikan. Dengan kata lain, pesantren dengan latar sejarah wilayah perdikan tersebut memang diakui oleh Hukum Adat.
Yang jadi persoalan kemudian adalah pesantren dewasa ini menjadi bagian dari hukum nasional sehingga tak jarang harus tunduk dan mendapat legalitas di bawah sebuah yayasan. Dari sini, pesantren harus menggantungkan diri pada manajemen yayasan.
Padahal, sebagai lembaga atau wilayah otonomi, pesantren mampu menghidupi diri secara mandiri. Namun, kenyataan sosial hukum nasional lebih merujuk kepada status rakyat dan kewarganegaraan daripada sejarah status tanah dan kewilayahan.
Kembali kepada kemakmuran, pesantren sudah mampu mencukupi diri dengan usaha usaha mandiri. Produksi dan industri pertanian dilakukan secara swadaya. Sama seperti kehidupan masyarakat desa, gotong royong adalah bagian tak terpisahkan. Jika di desa terdapat “tanah Bengkok” dan lumbung desa sebagai jaring pengaman sosial, maka di pesantren terdapat tanah wakaf. Dari lahan sosial tersebut, kelangsungan pendidikan dan pengajaran di pesantren dapat berlangsung, tanpa harus membebani biaya dari masyarakat. Kalaupun tidak ada tanah wakaf, biasanya parapengasuh pesantren memiliki lahan dan usaha sendiri untuk membiayai pesantren.