Berbicara tentang hukum Islam senantiasa tidak mengenal ruang dan waktu. Sehingga ketika berbicara tentang hukum Adat pun seolah terpisah dari hukum Islam. Padahal, hukum Islam sebelum lahirnya prinsip prinsip umum (kaidah kaidah) selalu bertumpu pada suatu adat tertentu. Jika tidak, maka tidak akan pernah ada materi pelajaran “Tarikh Tasyri” tentang Sejarah Hukum Islam. Contoh, munculnya pendapat pertama (qaul qadim) Imam Al Syafi’I yang berdasarkan pada adat dan kebiasaan masyarakat Kota Baghdad, sementara pendapat kedua (qaul jadid) muncul karena Imam Al Syafi’I sudah pindah ke Mesir.
Adat dan Hukum Islam Bersenyawa
Sebelum hukum Islam dipisahkan dari hukum Adat oleh Snouck Hurgronje secara teoretik di Nusantara, keduanya bersenyawa, sebab hukum Adat bersifat menerima, reseptif. Hal ini dapat dilihat pada penerapan hukum yang dilakukan oleh sultan sultan di Nusantara. Sementara Snouck memberikan tawaran kontra antara hukum Adat dan hukum Islam sebelum akhirnya menjadi hukum Kolonial, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW). Dari hukum BW ini kemudian, KUHP lahir. Dan, pada kenyataannya, antara KUHP, hukum Adat, dan hukum Islam berjalan terpisah sendiri sendiri dalam sejarah hukum di Indonesia.
Dari kanyataan sejarah hukum di Indonesia ini, kemudian muncul hukum hukum yang diproduksi oleh kiai kiai pesantren melalui forum forum Bahtsul Masail, Majelis Tarjih, Majelis Fatwa, dan yang sejenis. Sementara pada level resmi, hukum Islam diproduksi melalui pengadilan agama dan hukum publik diproduksi melalui pengadilan negeri. Meskipun, pengadilan agama hanya mengurusi hukum privat (perdata) saja dan pengadilan negeri mengurusi hukum publik (pidana). Dengan demikian, bisa dikatakan “pabrik pabrik” hukum di Indonesia lumayan banyak!
Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2015
Hukum Islam sejatinya di banyak negara berpenduduk muslim jarang berangkat dari aspek adat atau sosialnya. Selalu, hukum Islam ditarik atau dikeluarkan (istinbath) dari teks teks referensial. Padahal, tidak sedikit dari produk hukum tersebut diperbandingkan dengan hukum yurisprudensial (fiqh) melalui kaidah qiyasi.
Tentu, tidak semua teori dan metode memiliki kesempurnaan, mesti ada kelemahan kelemahan. Namun, sisi sisi kelemahan ini masih jarang dipelajari. Terutama, pada locus dan tempus. Lokasi dan tempat terjadinya hukum tersebut berada. Misal, pada status hukum pesantren sebagai wilayah perdikan, bebas dari pajak.
Pada persenyawaan hukum Adat yang berlaku pada masyarakat sejak lama (sebelum masa kolonial) semestinya hak otonomi pesantren tersebut masih bisa dipertahakan hingga saat ini. Namun, berkat hukum yayasan yang cenderung kapitalistik sehingga elan vital hak ulayat bagi kaum muslimin tersebut dengan serta merta juga hilang. Yang heran, jika hak ulayat pada masyarakat terus dipertahankan oleh negara, lalu kenapa hak pesantren tidak pernah dibahas, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri?
Sementara, hukum Ulayat tersebut setelah melihat beberapa kasus pada masyarakat di Indonesia terus mengalami evolusi. Hal ini dapat dilihat pada: 1) Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang meletakkan tanah Adat menjadi sangat penting untuk dijaga, dikelola, dan dimanfaatkan demi kemakmuran sebesar besarnya; 2) Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 5 UUPA, Indonesia memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat sekaligus hak yang dimilikinya; 3) Pasal 3 UUPA yang mengakui hak ulayat dan hak hak lain serupa masyarakat hukum Adat; 4) Permen Nomor 9 Tahun 2015, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bagi masyarakat hukum adat yang sudah tidak lagi menyebut dengan hak ulayat, namun hak komunal. Dengan kata lain, hak hak lain yang dimiliki oleh masyarakat pesantren merupakan hak komunal (komunitas) yang difungsikan untuk kemakmuran bersama.
Namun sayang, Bahtsul Masail FMPP 2022 ke-37 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al Hamid Cilangkap pada 11 September 2022 telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk boleh mencabut izin operasional pesantren yang bermasalah dengan tanpa mempertimbangkan hak hak “ulayat” pesantren itu sendiri. Dengan kata lain, forum bahtsul masail tersebut tidak mempertimbangkan prosedur hukum yang berlaku, malah mengambil fakta yang bersumber dari salah satu berita di media elektronik. Semestinya, forum memberikan rekomendasi kepada pesantren untuk dapat mengajukan hak bertanya atas pencabutan izin operasional pesantren tersebut sebelum benar benar dinyatakan bersalah.