Tiap daerah memiliki tradisi sendiri-sendiri ketika memberatkan anak-anak yang hendak menuntut ilmu agama.
Di ranah Sumatera pada umumnya, santri-santri yang hendak pergi mengaji diadakan upacara slametan atau kenduri dengan mengundang sanak famili dan handai taulan. Pada perayaan itu si anak yang hendak mesantren itu dikenakan baju Teluk Belanga, pakaian khas orang Melayu. Dari perayaan ini, Islam sudah berasimilasi dengan kebudayaan setempat.
Usai perayaan pelepasan itu, anak-anak yang sudah dilepas belajar di pesantren atau “surau” dalam tradisi di Sumatera diharapkan benar-benar mandiri. Di ranah Minang, mereka tidak lagi diperkenankan untuk kembali tinggal di rumah induk (rumah gadang), tempat tetua dan Ninik Mamak. Santri-santri muda itu harus meneladani kehidupan dan kesusahan hidup mandiri seperti perjuangan Rasulullah Saw. Mereka boleh kembali lagi ke rumah gadang dalam rangka upacara perkawinan dan membentuk lembaga baru, rumah tangga.
Di Kabupaten Pati, Kecamatan Tlogowungu, terkenal sesepuh bernama Mbah Mijan di desa. Mbah Mijan menciptakan tradisi unik bagi warga desa yang hendak berangkat mesantren. Hal ini dilandasi oleh pengalaman kesusahan Mbah Mijan ketika menuntut ilmu hingga ke Banyuwangi, Jawa Timur. Kala itu, Mbah Mijan melakukan tirakat “mlaku sikil” hingga melepuh sampai Banyuwangi. Kurang lebih akhir masa Orde Lama. Laku tirakat ini kemudian menjadi tradisi.
Dadaran yang biasa berlaku di perguruan tinggi ketika seorang mahasiswa tingkat terakhir mengajukan diri di sidang skripsi, maka istilah tersebut berlaku berbeda di tangan Mbah Mijan.
Mengingat pada dahulu medan tempuh perjalanan mesantren sangat jauh dan penuh tantangan marabahaya, maka anak-anak dibekali dengan ilmu kanuragan.
Pada awalnya, mereka dibekali dengan materi pelajaran dasar mengenal huruf Al Quran kepada Mbah Mijan di suraunya. Kemudian digembleng dengan ilmu-ilmu beladiri. Dari bekal itu, anak-anak yang hendak pergi merantau ke pesantren tidak lagi dikhawatirkan oleh kedua orang tuanya.
Praktik Dadaran adalah tradisi “gelut” atau berkelahi antar sesama anak asuhan Mbah Mijan. Adapun yang menang berhak untuk berangkat mesantren dan biasanya direkomendasikan pergi ke Pesantren Mathaliul Falah (Matholek) di Desa Kajen.
Dijelaskan oleh Mbah Mijan, orang yang mesantren akan mengalami kesulitan-kesulitan lahir dan batin seperti Kanjeng Nabi Muhammad Saw ketika mesantren di goa Hira kepada Malaikat Jibril As. Tidak ada bekal dan pakaian yang pantas. Pun, selama di pesantren tidak ada jaminan kesehatan. Orang yang menderita selama belajar di pesantren harus berjuang sendiri ketika sakit dan lapar.
Pelaksanaan Dadaran itu diingatkan oleh Mbah Mijan bukan untuk membangun permusuhan dan sentimen. Maka, seusai berkelahi, entah dengan jurus silat tertentu atau tidak, anak-anak santri Mbah Mijan akan mengenang peristiwa itu sebagai pelepasan yang mesti ditangisi bersama-sama.
Dan, gemblengan awal itu, merupakan kenangan manis setelah santri-santri itu berhasil sukses setelah usia tua menjelang. Mereka akan mengenang sebagai kenangan manis masa anak-anak.
Cirebon, 14 April 2022.